Selasa 09 Nov 2021 21:02 WIB

Hukum Meninggalkan Wasiat

Bagaimana hukum meninggalkan wasiat?

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Hukum Meninggalkan Wasiat - Suara Muhammadiyah
Hukum Meninggalkan Wasiat - Suara Muhammadiyah

Hukum Meninggalkan Wasiat

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Tim Tarjih, saya ingin bertanya, bagaimana hukumnya kita tidak menjalankan wasiat seseorang semasa hidupnya karena amalan tersebut tidak ada dalil yang mendasarinya? Orang tersebut berpesan semasa hidupnya bahwa jika ia meninggal maka anak-anaknya diminta untuk melakukan tahlilan hingga hari ketujuh, apakah berdosa tidak melakukan wasiatnya karena kami beranggapan bahwa tahlilan itu tidak ada dalam sunah.

Hasan Fatih (Disidangkan pada Jum‘at, Jumat, 17 Zulhijah 1441 H / 7 Agustus 2020 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus salam wr. wb.

Terima kasih atas pertanyaan saudara yang diajukan kepada Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu tentang makna wasiat, tahlilan beserta dalil-dalilnya.

Wasiat adalah إِتِّصَالُ الشَّيْءِ بِأَخَرَ menyampaikan sesuatu kepada lainnya, atau طَلَبُ فِعْلٍ مِنْ غَيْرِهِ لِيُفْعَلَهُ حَالُ حَيَاتِهِ أَوْ بَعْدَ وَفَاتِهِ tuntutan perbuatan dari lainnya untuk dikerjakannya pada masa hidup atau setelah kematiannya (al-Munjid fi al-Lughati wa al-Alam, hal. 904). Sedangkan wasiat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebuah pesan atau pesan terakhir yang disampaikan oleh orang yang akan meninggal (biasanya berkenaan dengan harta kekayaan dan sebagainya).

Wasiat telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis baik langsung dengan kata wasiat maupun tidak. Berwasiat atau meninggalkan pesan termasuk bagian dari anjuran Nabi saw terlebih untuk suatu kemaslahatan, seperti wasiat orang tua untuk anaknya, guru kepada muridnya, pemimpin kepada umatnya, dan demikian seterusnya. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi saw,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَىْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِىَ فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ [رواه مسلم].

Dari Ibnu Umar (diriwayatkan), bahwa Rasulullah saw bersabda: Tidak halal bagi seorang Muslim bermalam selama dua malam, padahal ia mempunyai sesuatu yang harus ia wasiatkan, kecuali wasiat tersebut tertulis di sisinya [H.R. Muslim].

Wasiat dapat berupa amalan yang harus dikerjakan sebagaimana Nabi saw sering memberikan wasiat kepada para sahabatnya, seperti wasiat beliau kepada Abu Hurairah yang dijelaskan dalam hadis berikut,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَصَلاَةِ الضُّحَى، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ [رواه البخاري].

Dari Abu Hurairah r.a (diriwayatkan) ia berkata, kekasihku (Rasulullah saw) telah berwasiat kepadaku dengan tiga perkara yang tidak akan pernah aku tinggalkan hingga aku meninggal dunia, yaitu puasa tiga hari pada setiap bulan, shalat Duha dan tidur dengan shalat witir terlebih dahulu [H.R. al-Bukhari].

Wasiat yang sudah diikrarkan wajib ditunaikan oleh orang yang diwasiatinya sekalipun wasiat itu datang dari seorang budak atau hamba sahaya. Hal ini dijelaskan Nabi saw dalam sabdanya,

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ إِنَّ خَلِيلِى أَوْصَانِى أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ الأَطْرَافِ [رواه مسلم].

Dari Abu Dzar (diriwayatkan) ia berkata, sesungguhnya kekasihku (Rasulullah) berwasiat kepadaku untuk selalu mendengar dan taat walaupun terhadap budak yang pesek hidungnya [H.R. Muslim].

Menjalankan wasiat itu hukumnya wajibnya selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Namun jika sebaliknya, maka tidak ada kewajiban untuk menjalankan wasiat tersebut. Di antara hal yang perlu diperhatikan dalam wasiat adalah,

Pertama, berwasiat bukan dalam perkara kesyirikan atau hal yang menjerumuskan kepada kesyirikan. Seperti dijelaskan Allah swt dalam firmanNya,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [لقمان (31): 15].

Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku (Allah) dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu, kemudian hanya kepadaKu tempat kembalimu, maka Aku akan beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan [Q.S. Luqman (31): 15].

Kedua, wasiat dalam perkara yang makruf dan bukan dalam maksiat. Hal ini dijelaskan dalam hadis Nabi saw,

عَنْ عَلِىٍّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ [رواه مسلم].

Dari Ali (diriwayatkan), Rasulullah saw bersabda: Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah. Hanya sanya ketaatan itu dalam kebaikan [H.R. Muslim].

Ketaatan kepada Allah itu harus murni tanpa tercampur dengan ketaatan kepada makhluk dalam perkara maksiat kepada Allah. Hal ini sebagaimana dijelaskan Malik dalam al-Muwatha bab ar-Rajulu yaktubu ila ar-Rujuli 3/372 ketika menafsirkan surah an-Nisa (4) ayat 59, bahwa maksud ketaatan kepada Allah adalah berada dalam jalan atau syariat Allah dan Rasul-Nya, sesuai diisyaratkan dalam hadis Nabi saw,

عَنِ الْحَسَنِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ [مصنف ابن أبي شيبة].

Dari Hasan (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Khalik (Allah) [Mushanaf Ibnu Abi Syaibah].

Ketiga, wasiat yang dijalankan sesuai dengan sunah Nabi saw. Semua perkara yang dilakukan hendaklah berlandaskan kepada aturan dan tuntunan Nabi saw, karena jika tidak maka amal tersebut tertolak. Sebagaimana diingatkan dalam hadis Nabi saw,

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ [رواه مسلم].

Dari Aisyah (diriwayatkan), bahwa Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang tidak berdasar perintah kami (Rasulullah saw), maka amalan itu tertolak [H.R. Muslim].

Dari ketiga hal tersebut dapat dipahami bahwa wasiat wajib dilaksanakan apabila wasiat itu tidak bertentangan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Sementara wasiat yang bertentangan dengan aturan Allah dan Rasulnya, tidak boleh dilaksanakan.

Tahlil adalah kalimat لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ“la ilaha illallah” yakni kalimat tauhid yang harus ada pada setiap jiwa seorang Muslim. Tahlil dalam pengertian membaca kalimat la ilaha illallah diperintahkan oleh agama Islam karena merupakan kalimat thayyibah sebagaimana kalimat zikir lainnya. Salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah swt adalah zikir, yakni memperbanyak zikir dengan tidak ditentukan jumlah bilangannya. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا [الأحزاب (33): 41].

Wahai orang-orang yang beriman berdzikirlah (ingat) kepada Allah dengan dzikir yang banyak” [Q.S. al-Ahzab (33): 41).

Keutamaan kalimat tauhid la ilaha illallah atau kalimat tahlil banyak dijelaskan dalam hadis Nabi saw. Kalimat tauhid ini harus tertanam dalam jiwa, terucap dalam lisan dan diwujudkan dalam amal yang sesuai dengan aturan Allah. Kalimat tauhid ini pun dapat mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan hakiki, yakni dimasukkan ke dalam surga dan dijauhkan dari neraka. Hal ini dijelaskan dalam hadis Nabi saw,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ، مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ [رواه البخاري].

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) ia berkata: Rasul ditanya, wahai Rasulullah siapakah manusia yang paling bahagia dengan syafaatmu kelak pada hari kiamat? Rasulullah saw bersabda:Manusia yang paling bahagia dengan syaafatku adalah orang yang membaca la ilaha illallah secara ikhlas dari hati dan jiwanya” [H.R. al-Bukhari].

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَفِى قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ مِنْ خَيْرٍ [رواه البخاري].

Dari Anas (diriwayatkan) dari Nabi saw bersabda: Akan dikeluarkan dari neraka orang adalah orang yang berkata la ilaha illallah dan di dalam hatinya masih terdapat kebaikan walaupun sebesar biji [H.R. al-Bukhari].

Pengertian tahlil yang telah dijelaskan di atas tentunya berbeda dengan istilah tahlilan seperti yang saudara tanyakan. Istilah tahlilan yang dikenal di mayarakat adalah sebuah acara yang berkaitan dengan kematian seseorang, membaca bacaan tertentu dengan kaifiyah (tata cara) tertentu hingga waktu yang ditentukan.

Dalam persoalan kematian, hal yang jelas diperintahkan oleh agama Islam sebagai suatu kewajiban adalah memandikan, mengafani, menyalatkan dan menguburkan, kemudian mendoakan setiap saat dengan tanpa ditentukan secara khusus baik bacaan, tata cara maupun waktunya. Sementara itu dalam pelaksanaan tahlilan banyak hal yang perlu dipertimbangkan seperti jamuan, larangan memakan harta anak yatim, konsep kirim pahala dan beberapa hal lain yang berkaitan dengan itu. (lihat pandangan Muhamamdiyah tentang tahlilan pada buku Tanya Jawab Agama Jilid 4 halaman 254-258 dan Jilid 6 halaman 136-142).

Berdasarkan uraian di atas, persoalan yang saudara tanyakan tentang wasiat seseorang jika ia meninggal, anak-anaknya diminta untuk melakukan tahlilan hingga hari ketujuh, maka Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat bahwa: Pertama, tahlil dalam pengertian membaca kalimat tauhid la ilaha illallah tidak dilarang bahkan sangat dianjuran untuk diamalkan sebagai bentuk zikir kepada Allah swt, sedangkan tahlil dalam pengertian tahlilan seperti uraian di atas tidak ada perintah dari Nabi saw. Kedua, pesan atau wasiat yang diyakini tidak ada perintah atau contoh dari Nabi saw tidak perlu untuk dijalankan.

Demikianlah, semoga dapat dipahami dan mencerahkan.

Wallahu alam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 6 Tahun 2021

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement