REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asep Wijaya, Penikmat perjalanan dan Widyaiswara Narabahasa
Di hutan dengan kepungan pohon cedar yang menjulang bak pilar bangunan, sekelompok orang tampak antusias mengantre. Mereka begitu sabar berdiri mengular hanya untuk menanti giliran berswafoto dengan latar belakang torii atau gerbang kuil Shinto di tepi Danau Hakone atau Ashinoko.
Memang benar, dua palang sejajar yang disangga dua batang tiang vertikal berwarna merah tedas itu bukan sembarang torii. Ia salah satu objek ikonis di Hakone. Ia sangat populer karena keunikannya dan legenda yang menyertainya.
Bangunan bernama Heiwa-no-torii atau gerbang perdamaian ini unik karena letaknya yang di tepi danau. Tiang penyangganya berdiri tegak menembus permukaan danau hingga torii ini terlihat seperti mengapung di air.
Gerbang menuju kuil ini juga menarik karena legendanya. Konon, di tempat torii ini berdiri, seorang biksu sakti pernah berdoa tiga hari tiga malam untuk menaklukkan kuzuryu atau naga berkepala sembilan yang kerap menimbulkan prahara bagi warga.
Naga itu mendiami Danau Ashinoko dan sering meminta persembahan. Demi menghindari amukan naga, warga bersepakat untuk mengundi tumbal dengan cara menembakkan anak panah ke permukiman. Penghuni rumah yang atapnya tertancap anak panah harus mengorbankan anak perempuannya untuk sang naga.
Kejadian ini membuat sang biksu sedih. Ia kemudian memutuskan untuk melakukan ritual di tepi Danau Ashinoko untuk mengatasi prahara itu. Alhasil, sang naga berubah menjadi baik dan menjadi dewa. Untuk menghormati keberadaannya, sebuah kuil bernama Kuzuryu-jinja dibangun di sekitar kompleks Kuil Hakone.
Berangkat dari keunikan dan legenda itu, wajar jika kemudian banyak orang yang rela meluangkan waktu agar dapat mengabadikan momen bersama Heiwa-no-torii tersebut. Selain itu, latar belakang danau yang teduh dan suasana hutan alami dengan pohon cedar yang menjulang tinggi turut pula mendukung pengunjung untuk dapat menghasilkan karya foto yang estetis.
Namun, tampaknya, aneka hal istimewa itu belum cukup menggoda saya untuk mau mengantre lama. Saya lebih memilih untuk beranjak ke dermaga Motohakone-ko untuk merasakan fantasi menjadi lanun di Danau Hakone atau Ashinoko.
Di perjalanan menuju dermaga, saya terus bertanya-tanya kok, bisa, ya, tanpa arahan petugas, para pengunjung dapat berlaku tertib mengantre. Antreannya pun berada pada sisi yang tidak mengganggu objek foto.
Hebatnya lagi, tidak ada satu orang pun yang bersuara gaduh. Semua orang berbicara dengan lirih hingga siapa pun yang berada di hutan itu tetap dapat menikmati suasana nyenyat, hening, dan tenang.
Sambil berkutat dengan pertanyaan itu, saya terus menyusuri jalur pedestrian hutan dan mempercepat langkah menuju dermaga Motohakone-ko. Langkah kaki saya kian deras seturut dengan tiupan angin awal musim semi yang masih membawa udara dingin.
Susur Danau Hakone