REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah tengah mengusulkan pembangunan fasilitas pencampuran untuk komoditas batu bara (coal blending facility). Langkah ini disebut untuk memberikan keadilan dalam mengatasi permasalahan pelaksanaan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) batu bara bagi industri maupun perusahaan tambang.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin mengutarakan, perubahan ini sedang dalam tahap kajian internal di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. "Kami sedang melakukan diskusi, pendalaman, dan wacana-wacana untuk lebih meningkatkan daya guna kebijakan DMO 25 persen," kata Ridwan, Rabu (17/11).
Penetapan kebijakan DMO ini, sambung Batubara, tidak mudah dilakukan oleh perusahaan lantaran tidak seluruh spesifikasi batu bara yang diproduksi oleh Badan Usaha (BU) Pertambangan memiliki pasar dalam negeri dan dapat diserap oleh pasar domestik. "Kami mendorong PLN khususnya atau perusahaan pengguna yang lain untuk membangun fasilitas pencampuran batu bara (coal blending facility) yang dikelola BUMN/Swasta untuk mengolah berbagai spesifikasi batu bara agar sesuai dengan kebutuhan dalam negeri," jelasnya.
Usulan lainnya adalah dengan membuat skema pengenaan dana kompensasi bagi BU pertambangan yang tidak memenuhi kewajiban DMO. "Dana kompensasi ini dapat juga digunakan untuk berbagai keperluan dalam mendukung tingkat kesesuaian produk batu bara baik sebagai tambahan subsidi atau dukungan pendanaan untuk coal blending facilty," ungkap Ridwan.
Ridwan mengutarakan konsumsi batu bara dalam negeri selama ini lebih kecil dibandingkan dengan tingkat produksi batubara nasional. Di samping itu, tidak semua BU pertambangan memiliki kesempatan kontrak penjualan dengan pengguna batu bara dalam negeri.
Sebagai gambaran, paparan Ridwan menjabarakan bagaimana realisasi produksi batu bara nasional hingga Oktober 2021 sudah mencapai 512 juta ton atau 82 persen dari target yang ditetapkan pada tahun 2021 sebesar 625 juta ton. Sementara tingkat realisasi DMO baru sebesar 110 juta ton.
Selain kedua usulan di atas, Kementerian ESDM juga tengah mewacanakan pengaturan harga batas atas (ceiling price) dan harga batas bawah (floor price) dalam mengantisipasi adanya disparitas harga komoditas batu bara di pasar.
"Kami mencoba melihat peluang-peluang pengaturan yang lebih baik dan memberikan keadilan bagi para pelaku usaha (pertambangan)," kata Ridwan.
Penetapan harga batas atas sudah diimplementasikan untuk kelistrikan umum, industri semen dan pupuk.
Apabila kebijakan ini tidak ditetapkan akan menghindari potensi kecenderungan produsen batu bara menghindari berkontrak dengan konsumen batu bara dalam negeri saat harga komoditas batu bara naik.
"Saat harga naik, (produsen) lebih memilih denda bila harga batu bara domestik jauh lebih rendah dibandingkan harga pasar internasional," Ridwan menambahkan.
Selanjutnya, opsi penetapan harga batas atas dan harga batas bawah. "Harga batas bawah bertujuan untuk melindungi produsen batu bara agar tetap dapat berproduksi pada tingkat keekonomiannya saat harga batu bara sedang rendah," tutur Ridwan.
Kemudian, pengaturan skema kontrak penjualan dalam negeri melalui skema kontrak harga tetap (fixed price) dengan besaran harga yang disepakati secara Business to Business (B to B). "Skema ini akan memberikan kepastian bagi produsen batu bara maupun konsumen batu bara dalam negeri terkait jaminan harga dan volume pasokan," tutup Ridwan.
Pemerintah telah mengatur kewajiban pemenuhan batubara dalam negeri bagi semua BU Pertambangan yang diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri.
Dalam regulasi tersebut, bagi perusahaan pertambangan yang tidak memenuhi DMO 25 persen dari rencana produksi atau kontrak penjualan dalam negeri akan dikenakan larangan ekspor batu bara, denda, maupun dana kompensasi.