REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Denny JA
Tertulis di surat itu: Padang, 1897. Surat dimulai dengan kata: “Kekasihku Samsulbahri.”
Sitti Nurbaya pun bercerita dari Padang kepada kekasih hatinya yang tengah bersekolah di Batavia. “Aku menulis surat ini dengan cucuran air mata."
Tulis Nurbaya, toko ayahnya terbakar. Diduga ada yang membakar. Kebun kelapa ayahnya juga mati. Juga diduga ada tangan-tangan jahat yang merusaknya.
Ayahku terlilit utang kepada Datuk Maringgih, ujar Nurbaya. Ayah tak lagi sanggup membayar utang. Ancamannya masuk penjara.
Datuk Maringgih memberi tawaran. Utang Ayahnya dilupakan. Ayah juga tak akan dipenjara. Itu asalkan aku, Nurbaya, bersedia menjadi istri Datuk Maringgih.
Sitti Nurbaya pun bersumpah dan ia ingin kekekasihnya Samsulbahri percaya. Cintanya tetap utuh pada Samsulbahri. Tak berkurang sedikitpun.
Namun untuk menyelamatkan ayahnya, ia terpaksa mengambil tawaran itu: menjadi istri Datuk Maringgih. Bagi Samsulbahri, tak ada hantaman yang lebih keras daripada isi surat itu. Ia teringat mimpinya yang mirip. Jantungnya seolah berhenti. Ia menangis tak henti- henti.
Baca juga : Survei: Novel Cerita Dewasa Lebih Diminati