Senin 29 Nov 2021 14:02 WIB

Tak Perlu Jual Ginjal untuk Gaya Hidup

Tak perlu berutang apalagi jual ginjal demi bisa upload foto di kedai kopi fancy.

Jual Ginjal (ilustrasi)
Foto: Foto : Mardiah
Jual Ginjal (ilustrasi)

Oleh : Qommarria Rostanti, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa waktu lalu ketika membuka Instagram, saya melihat ada sebuah akun yang mengunggah foto tangkapan layar (screenshoot) dari percakapan di Whatsapp. Isinya tentang seseorang yang meminjam uang kepada temannya. Bukan untuk membeli kebutuhan pokok, melainkan untuk biaya nongkrong.

“Minjem duit dong 500 aja. Besok tgl 10 diganti. Lagi nongki nih, malu gabawa duit.” Seperti itulah percakapan yang terlihat dalam foto.

Terlepas itu hanya konten belaka atau memang benar fakta, unggahan itu dibanjiri hingga lebih dari 8.000 komentar dari warganet. Komentarnya beragam. Namun apa yang mereka sampaikan senada: jangan memaksakan gaya hidup yang tidak sesuai kemampuan.

Saya pun sependapat. Jika seseorang “mampu” dan ingin bergaya, silakan. Namun jika tidak, tak usah memaksakan diri untuk tampil “wah” di depan orang lain. Tak perlu meminjam uang hanya demi bisa upload foto estetik di kedai kopi fancy. Apalagi sampai terjerat pinjol ilegal, cuma untuk dipandang keren oleh orang-orang sekitar.

Baca juga : Gejala tidak Biasa Covid Varian Omicron

Ada satu kasus konsumerisme yang sempat heboh di China pada 2011. Anda mungkin pernah mendengar candaan soal “menjual ginjal untuk beli iPhone terbaru”, lantaran harga iPhone yang cukup mahal.

Di Negeri Tirai Bambu, itu sungguhan terjadi. Remaja bernama Xiao Wang menjual salah satu ginjalnya pada 2011. Kala itu dia yang baru berusia 17 tahun mendambakan ponsel pintar iPhone 4 yang sedang hit, termasuk di kalangan teman-teman sekolahnya.

Kasus tersebut mendapat sorotan besar di China. Pihak berwenang mendakwa lima orang atas tuduhan perdagangan organ ilegal.

Dilansir di laman The New York Times, para terdakwa termasuk seorang ahli bedah, kontraktor rumah sakit, dan calo yang dituduh mencari donor dan menyewa ruang operasi untuk melakukan prosedur tersebut. Uang yang mereka dapatkan dari transplantasi organ ilegal sebesar 35 ribu dolar AS untuk transplantasi. Xiao Wang hanya mendapat sekitar 3.500 dolar AS, sementara uang yang lainnya dibagikan antarterdakwa.

Kantor berita Xinhua melaporkan, saat itu sekitar 1,5 juta orang di China membutuhkan transplantasi organ, tetapi hanya sekitar 10 ribu yang dilakukan setiap tahun. Hal ini memicu perdagangan ilegal organ.

Keputusan untuk menjual ginjal mengubah jalan hidup Wang untuk selamanya. Beberapa prosedur operasi standar transplantasi tidak dipatuhi. Ruang operasi pun tidak disanitasi dengan baik. Alhasil, ginjal Wang yang lainnya mengalami infeksi dan membuatnya sakit parah. Pada 2018 (saat berusia 24 tahun), Wang bercerita dia harus melakukan cuci darah selama sisa hidupnya.

Kasus tersebut memicu banyak keprihatinan. Utamanya, tentang bagaimana menjaga anak-anak muda dari konsumerisme. Tanpa menghadapi kesulitan ekonomi yang “serius”, sebagian orang membuat keputusan yang terburu-buru. Sebagian mudah berutang demi keinginan, bukan kebutuhan.

Baca juga : Profil Ameer Azzikra, Pengusaha Madu yang Wafat di Usia Muda

Belajarlah untuk melihat bahwa barang-barang (mewah) bukan sebagai satu-satunya tolok ukur kebahagiaan. Sekali lagi saya bilang: Jika sanggup, silakan. Jika tidak, ya jangan ngoyo.

Jangan menyusahkan orang lain dengan berutang, untuk menanggung gaya hidup kita. Bisa jadi, orang yang diutangi justru sedang mati-matian berjuang untuk mengerem keperluannya. Beda cerita jika seseorang meminjam uang untuk kebutuhan mendesak dan penting.

Berutang tidak selalu dilihat negatif. Dalam beberapa kasus, berutang bisa membantu kita. Yang perlu digarisbawahi, utang harus dikelola dengan baik agar dapat meminimalisasi dampak negatif terhadap diri pribadi.

Berutang seyogianya bukan masalah besar jika dilakukan secara bijak secara tepat. Artinya, pihak yang berutang yakin dapat mengembalikannya dan digunakan untuk hal bermanfaat. Sebaliknya, jika berutang hanya untuk konsumtif atau karena untuk meninggikan gaya hidupnya, itu tidak baik. Apalagi kalau tidak dibayar, sudah pasti akan menimbulkan masalah baru.

Agar terhindar dari utang untuk konsumerisme, sebaiknya bijak menentukan standar gaya hidup dengan kemampuan finansial. Apabila masih memungkinkan, tekan lagi biaya hidup. Lihat lagi tiga kebutuhan utama sandang, pangan, dan papan. Barang kali di antara tiga kebutuhan pokok itu masih ada pengeluaran yang bisa dikurangi. Misalnya, dengan mengurangi kebiasaan nongkrong atau makan di kafe mahal atau setop membeli barang yang tak sesuai bujet.

Baca juga : Istri Ameer Azzikra: Allah Lebih Sayang Abang

Selain itu, berlatihlah menabung. Cara ini bisa menjadi salah satu cara untuk menahan perilaku keuangan konsumtif. Mungkin Anda juga bisa mulai memikirkan untuk menambah penghasilan dari sumber yang lain.

Menyisihkan sebagian penghasilan memang bukan perkara mudah, khususnya bagi seseorang yang sudah terbiasa hidup konsumtif. Anda tidak harus menabung dalam jumlah banyak. Sedikit-sedikit, tetapi rutin, rasanya lebih baik dibandingkan menghabiskannya untuk gaya hidup. Bisa jadi sebenarnya penghasilan kita cukup untuk biaya hidup, tapi karena gaya hidup yang tinggi, membuatnya terasa kurang.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement