REPUBLIKA.CO.ID, GORONTALO -- Wakil Ketua DPR RI, Rachmat Gobel, mengaku prihatin terhadap nasib petani bawang putih. Harga bawang putih anjlok karena pasar Indonesia dibanjiri impor bawang putih.
"Kita harus melindungi petani bawang putih dari banjir impor. Selain itu kita juga harus berpihak pada tujuan kemandirian bawang putih. Untuk itu kita perlu mengaturnya agar tujuan itu tercapai," katanya, Kamis, (23/12).
Gobel mengemukakan hal itu menanggapi keluhan petani tentang anjloknya harga bawang putih akibat pasar Indonesia dibanjiri bawang putih impor. Petani mengeluhkan hal itu kepada Presiden Jokowi saat berdialog dengan petani bawang putih di Temanggung, Jawa Tengah. Setiap tahun Indonesia mengimpor bawang putih sekitar 500 ribu ton per tahun, hampir 100 persen dari Tiongkok. Sedangkan produksi bawang putih dari dalam negeri sekitar 90 ribu ton per tahun.
“Berdasarkan data, Indonesia pernah swasembada bawang putih pada tahun 1994. Jadi sebetulnya kita mampu memenuhi kebutuhan kita sendiri,” kata Gobel. Hanya saja, katanya, seperti yang terjadi pada produk-produk pertanian dan peternakan lainnya, Indonesia selalu gagal menata importasinya.
Padahal, katanya, kedudukan petani Indonesia lemah karena keterbatasan lahan dan juga karena faktor kemiskinan. Selain itu, katanya, posisi tawar petani juga lemah sehingga tak mendapat perlindungan.
“Yang terjadi kemudian adalah muncul importir yang nakal dengan menghancurkan harga. Maka terjadi seperti dalam hukum perang: hancurkan, duduki, lalu kuasai,” katanya.
Sebagai ilustrasi, Gobel menerangkan, akibat proses yang seperti itu, maka petani akan rugi dan akhirnya kapok menanam lagi. “Saat Indonesia bisa swasembada bawang putih, ada sekitar 100 kabupaten yang menjadi sentra bawang putih. Sekarang cuma ada di Lombok Timur, Magelang, Temanggung, dan Karanganyar. Mereka kapok,” katanya.
Gobel menyebutkan, sejak beberapa tahun terakhir ini, di masa pemerintahan Presiden Jokowi, Indonesia sedang berupaya untuk bisa swasembada bawang putih lagi. “Pemerintah menggelontorkan dana APBN untuk itu. Sehingga mulai muncul petani bawang putih di Humbahas, Solok, Bandung Barat, Cianjur, Majalengka, Garut, Tegal, Malang, Banyuwangi, Probolinggo, Bantaeng, Malino, Minahasa Selatan, dan banyak lagi. Tapi dengan impor yang tak terkendali program ini bisa hancur lebur. Dana APBN yang digelontorkan menjadi sia-sia. Ibarat ada yang menanam, tapi juga ada yang membinasakan. Kita harus duduk bersama, menata bersama,” katanya.
Sayangnya, kata Gobel, di tengah upaya itu terbit Permendag No 20 Tahun 2021 yang terbit pada 1 April 2021. Dalam Permendag ini ada aturan yang menghapuskan rekomendasi teknis dari kementerian terkait dan cukup izin dari Kemendag.
“Bawang putih masuk di dalamnya yang tak butuh rekomendasi teknis dari kementan. Ini tentu bisa mengacaukan program swasembada bawang putih, karena besaran impor bisa tak terkoordinasikan dengan produksi petani kita sendiri,” katanya.
Karena itu, Gobel mengingatkan untuk merevisi kembali Permendag No 20 Tahun 2021 tersebut. “Permendag ini sangat tidak memihak pada kemampuan dalam negeri. Hanya menguntungkan importer saja. Ini sama sekali tak menghormati daya kreasi. Bertani itu proses budaya yang dalam, penuh nilai-nilai dan kearifan lokal. Beda dengan importer: cukup modal duit dan selembar izin,” katanya.