Ahad 30 Jan 2022 14:27 WIB

BPOM: Mengkhawatirkan, Pengaruh BPA di Kemasan Air Minum Polikarbonat

Pada tahap awal BPOM melakukan revisi pelabelan BPA pada air kemasan.

 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menemukan sejumlah kecenderungan yang mengkhawatirkan pada migrasi bahan kimia Bisphenol A (BPA) di kemasan air minum berbahan polikarbonat bagi kesehatan masyarakat.(ilustrasi).
Foto: Www.freepik.com
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menemukan sejumlah kecenderungan yang mengkhawatirkan pada migrasi bahan kimia Bisphenol A (BPA) di kemasan air minum berbahan polikarbonat bagi kesehatan masyarakat.(ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menemukan sejumlah kecenderungan yang mengkhawatirkan pada migrasi bahan kimia Bisphenol A (BPA) di kemasan air minum berbahan polikarbonat bagi kesehatan masyarakat. Sebanyak 33 persen sampel pada sarana distribusi dan peredaran serta 24 persen sampel berada pada rentang batas migrasi BPA 0,05 mg/kg yang ditetapkan Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA) dan 0,6 mg/kg berdasarkan ketentuan di Indonesia.

"Pada uji sampel post-market yang dilakukan 2021-2022 dengan sampel yang diperoleh dari seluruh Indonesia menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan," kata Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM RI Rita Endang melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Ahad (30/1/2022).

Baca Juga

Dia mengatakan potensi bahaya di sarana distribusi dan peredaran 1,4 kali lebih besar dari sarana produksi. Selain itu, kata Rita, terdapat potensi bahaya di sarana distribusi hingga 1,95 kali berdasarkan pengujian terhadap kandungan BPA pada produk AMDK berbahan polikarbonat dari sarana produksi dan distribusi seluruh Indonesia.

BPOM juga melakukan kajian paparan BPA dengan hasil menunjukkan bahwa kelompok rentan pada bayi usia enam hingga 11 bulan berisiko 2,4 kali dan anak usia 1-3 tahun berisiko 2,12 kali dibandingkan kelompok dewasa usia 30-64 tahun. "Kesehatan bayi dan anak merupakan modal paling dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing yang merupakan salah satu tujuan RPJMN 2020-2024," ujarnya.

Rita mengatakan, BPOM juga melakukan kajian kerugian ekonomi dari permasalahan kesehatan yang timbul akibat BPA pada air kemasan yang dilakukan bersama pakar perguruan tinggi. Penelitian dengan metode studi epidemiologi deskriptif dilakukan oleh sejumlah pakar ekonomi kesehatan yang menggunakan estimasi berdasarkan prevalence-based untuk mengkaji beban ekonomi.

"Dipilih satu penyakit dengan dukungan banyak publikasi yang ilmiah. BPA merupakan endocrine disruptor (zat kimia yang dapat mengganggu fungsi hormon normal pada manusia) berdasarkan penelitian berkolerasi pada sistem reproduksi pria atau wanita seperti infertilitas (gangguan kesuburan)," katanya.

Rita menyebut, berdasarkan hasil studi Cohort di Korea Selatan (Journal of Korean Medical Science) 2021, ada korelasi peningkatan infertilitas pada kelompok tinggi paparan BPA dengan odds ratio atau rasio paparan penyakit mencapai 4,25 kali. "Diperkirakan beban biaya infertilitas pada konsumen AMDK galon yang terpapar BPA berkisar antara Rp16 triliun sampai dengan Rp30,6 triliun dalam periode satu siklus in-vitro fertilization (IVF)," ujarnya.

Dia mengatakan, dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat untuk jangka panjang, beberapa negara telah mengetatkan standar batas migrasi BPA. "BPOM belajar dari tren yang berlangsung, dinamika regulasi negara lain, dan mempertimbangkan kesiapan industri pangan serta dampak ekonomi," katanya.

Sebelum menuju pada standar yang lebih ketat, pada tahap awal BPOM melakukan revisi pelabelan BPA pada air kemasan. Selain itu, BPOM juga mendapatkan dukungan dan masukan dari elemen masyarakat dan akademisi terkait standar aman air minum dalam kemasan.

Rita mengatakan, BPOM terus melakukan evaluasi standar dan peraturan bersama dengan pakar di bidang keamanan air, pelaku usaha, kementerian dan lembaga terkait, akademisi, dan masyarakat dalam mempersiapkan standar kemasan dan label AMDK di pasaran.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement