REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Vaksin mRNA China terbaru menunjukkan penurunan tajam dalam aktivitas antibodi penetral terhadap Omicron dibanding terhadap virus corona yang tak bermutasi dalam sebuah studi kecil. Akan tetapi, dosis boosternya dengan mudah memicu produksi antibodi dalam uji coba hewan, menurut makalah penelitian.
Dilansir dari reuters, Selasa (15/2/2022), vaksin ARCoV yang dikembangkan bersama oleh Academy of Military Medical Sciences (AMMS), Suzhou Abogen Biosciences dan Walvax Biotechnology, saat ini sedang diujicobakan pada uji klinis Tahap III secara internasional. Ini adalah calon vaksin berbasismRNA buatan dalam negeri China yang paling jauh mencapai progres uji coba.
China belum mengizinkan calon vaksin mRNA yang dikembangkan secara lokal dan internasional. Tetapi, otoritas sudah memvaksin 87,1 persen populasi dengan sejumlah vaksin lokal yang dibuat dengan teknologi lain. Dalam studi laboratorium yang menganalisis 11 sampel penerima vaksin, delapan di antaranya menunjukkan aktivitas penetralanyang rendah namun terdeteksi terhadap Omicron, kata tim peneliti dalam sepucuk surat kepada editor yang diterbitkan oleh jurnal Cell Research.
Kadar antibodi penetral terhadap Omicron menunjukkan penurunan 47 kali lipat dibanding dengan kadar terhadap jenis liar (varian alami) yang tidak mengandung mutasi besar, tulis makalah yang diterbitkan pada Senin lalu. Namun, pada uji hewan, dosis ketiga yang diberikan sekitar sembilan bulan setelah dosis kedua, dengan mudah memicu produksi antibodi penetral terhadap Omicron dan varian alami, lanjutnya.
"Data kami secara gamblang memperlihatkan bahwa dosis ketiga ARCoV kemungkinan akan mengarah pada peningkatan tajam antibodi penetral, tidak hanya terhadap WT (varian alami) SARS-CoV-2 namun juga varian Omicron baru," katanya.
Tim peneliti juga melakukan uji coba pada hewan untuk dua calon vaksin mRNA baru khusus Omicron dan hasilnya membuktikan bahwa kadar antibodi yang diinduksi sebanding dengan kadar antibodi yang dihasilkan ARCoV asli. Penulis jurnal mencakup para ilmuwan AMMS dan Suzhou Abogen Biosciences serta peneliti dari sejumlah lembaga China lainnya.