REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Ma’mun Murod Al-Barbasy, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta
Mengagetkan, seolah sudah mendapat “arahan”, pada waktu yang hampir bersamaan, beberapa partai politik membuat “pernyataan politik” yang menyatakan dukungannya agar jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang seharusnya berakhir tahun 2024 diperpanjang untuk beberapa tahun ke depan. Pernyataan model ini khas dalam tradisi politik di negara otoriter atau setidaknya mulai mengarah ke arah otoriter.
Negara otoriter lazimnya memiliki karakteristik: Kepemimpinan yang sewenang-wenang; Pemilu tak lebih sekadar hajatan politik yang pemenangnya sudah ditentukan, tentu dengan menggunakan beragam modus kecurangan; Legislatif hanya menjadi stempel atas kebijakan penguasa; Lembaga negara, seperti badan intelijen, dengan data-data yang dimilikinya, dijadikan sebagai instrumen untuk mengancam lawan-lawan politik atau siapapun yang mencoba membangkang kemauan politik penguasa; Kuantitas dan atau gerak partai politik dikendalikan dan dibatasi sedemikian rupa; Pembuatan kebijakan dilakukan tanpa melibatkan masyarakat banyak; Anti atau sulit menerima kritikan atau masukan. Siapapun yang mencoba bersikap kritis dihadapi dengan tuduhan sebagai merongrong negara, melawan ideologi negara, dan radikal; Memaksakan kepatuhan yang bersifat mutlak kepada siapapun. Hal ini menyebabkan positioning partai-partai politik atau bahkan ormas keagamaan sekalipun dibikin serba salah dan kesulitan dalam menjalin relasi dengan rezim otoriter.
Sejak Indonesia merdeka, karakteristik di atas lebih sering hadir dalam jagat politik Indonesia. Dimulai pada era Orde Lama, tepatnya sejak Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai dengan 1967. Kemudian berlanjut selama Orde Baru berkuasa 1967-1998. Di era Orde Lama, suasana kehidupan politik yang demokratis praktis hanya dirasakan pada periode Demokrasi Parlementer. Sementara di era Orde Baru hanya dirasakan satu hingga dua tahun selepas Soeharto berkuasa. Selebihnya, tepatnya ketika Soeharto mulai ingkar janji untuk menyelenggarakan pemilu yang seharusnya dilaksanakan tahun 1968 (baru dilaksanakan 1971) sampai 1998, politik berjalan secara otoriter. Praktis selama kurang lebih 38 tahun Indonesia hidup dalam genggaman rezim otoriter.
Bila Soekarno membatasi jumlah parpol dengan menerapkan konsep Nasakom, maka Soeharto membatasi jumlah partai politik dengan konsep “penyederhanaan partai”. Caranya dengan memaksa 10 kontestan pada Pemilu 1971 untuk melebur atau memfusi menjadi hanya tiga kontestan pemilu: PPP, PDI, dan Golkar, yang menyebut dirinya sebagai orsospol.
Bila di era Orde Lama muncul keputusan MPR RI untuk menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, maka di era Orde Baru muncul tradisi politik berupa “kebulatan tekad”, yang selalu muncul dan ramai menjelang dan pasca pemilu hingga menuju Sidang Umum MPR. Partai-partai politik dan Golkar serta elemen-elemen masyarakat lainnya ramai-ramai menyatakan “kebulatan dekat” untuk mendukung kembali Soeharto sebagai presiden.
Siapapun yang memotret Indonesia pada dua era ini, rasanya tidak terlalu sulit untuk menyebut Indonesia sebagai negara otoriter. Demokrasi benar-benar dalam ancaman. Dan potret suram politik otoriter ini dalam beberapa tahun terakhir tampaknya mulai hadir kembali. Kondisi ini tentu paradoks. Ketika negara-negara yang di tahun 1980-an berlebel samadengan Indonesia: otoriter, seperti Filipina, Korea Selatan, dan beberapa negara di Amerika Latin, yang oleh GuillermoO’Donnell disebutnya tengah transisi menuju demokrasi, saat ini sudah lebih mapan dalam berdemokrasi, Indonesia justru hendak memutar arah jarum jam kembali ke jalur otoriter.
Akankah demokrasi kembali dalam ancaman? Kalau menilik banyak kebijakan atau proses politik yang dengan mudah bisa diidentifikasi sebagai otoriter, maka pertanyaan di atas bisa dijawab bahwa demokrasi di Indonesia memang dalam ancaman. Pertama, pelemahan oposisi, di antaranya ditandai dengan pemberian dua menteri kepada Gerindra. Hal ini berhasil memaksa Gerindra masuk gerbong pendukung Pemerintah. Masuknya Gerindra telah berhasil melemahkan posisi oposisi di Parlemen. Pelemahan oposisi juga dilakukan terhadap kelompok-kelompok kritis yang berseberangan dengan Pemerintah. Kedua, melemahnya oposisi telah menjadikan kekuasan eksekutif tampil sangat dominan dan sebaliknya posisi legislatif menjadi lemah di hadapan eksekutif. Saat ini, hampir semua yang menjadi kemauan eksekutif diamini dan didukung sepenuhnya oleh legislatif.
Ketiga, dominasi kuasa eksekutif juga terjadi di wilayah yudikatif. Tergambar misalnya dalam kasus judicial review atas UU Cipta Kerja dan UU Pemilu yang berkenaan dengan presidential threshold (PT). Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yang antara lain bertugas menguji UU terhadap UUD 1945 misalnya, seharusnya independen dalam memberikan pertimbangan terhadap pelanggaran UU. Namun kenyataanya, MK tak mampu bersikap independen. Dalam kasus UU Cipta Kerja, sikap MK menjadi sorotan terkait putusannya yang menyatakan “inkonstitusional bersyarat selama dua tahun”. Terlihat bahwa keputusan ini dilakukan tak lebih untuk menyelamatkan wajah eksekutif (Presiden Jokowi). Begitu pun terkait dengan PT, MK membenarkan dan mendukungnya. Putusan terakhir MK, masih konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya bahwa PT itu konstitusional.
Keempat, menempatkan terlalu banyak polisi ke dalam instansi-instansi pemerintahan. Bila Orde Baru dikritik karena menjalankan Dwi Fungsi ABRI, sekarang fungsi yang sama diterapkan kembali. Bedanya sekarang yang menjalankan peran tersebut adalah kepolisian. Perannya bukan sebatas Dwi Fungsi, tapi Multi Fungsi. Terlalu banyak lembaga negara yang dipimpin oleh perwira polisi, baik yang masih aktif maupun pensiun dini.
Kelima, konflik agraria yang terjadi di banyak daerah, termasuk kekerasan dalam kasus Wadas. Dalam banyak konflik agraria, biasanya konflik terjadi antara masyarakat dengan pihak swasta, yang biasanya dipicu dengan keluarnya HGU atas tanah yang sudah ditempati atau dikuasai oleh masyarakat selama puluhan tahun dan bahkan sudah turun temurun, atau konflik antara masyarakat dengan negara terkait pembebasan lahan yang sudah dikuasai atau dimiliki oleh masyarakat untuk kepentingan pembangunan kepentingan umum.
Keenam, mengabaikan partisipasi publik dalam hal pemindahan ibukota negara IKN). Sebagai contoh, UU IKN yang mendapat perhatian luas publik dan mengundang polemik, pembahasannya termasuk sangat singkat, yaitu hanya dibahas dalam waktu 42 hari. Pemindahan IKN dinilai sarat dengan kepentingan segelintir elit dan kaum oligark. Informasi yang saya peroleh, tanah-tanah di sekitar calon IKN sudah dikapling-kapling oleh pengusaha-pengusaha papan atas Indonesia.
Paling terakhir, tentu saja “pernyataan politik” beberapa partai pendukung Pemerintah untuk mendukung perpanjangan jabatan Presiden Jokowi. Sulit untuk menyebut bahwa “pernyataan politik” tersebut tak ada kaitannya dengan kepentingan elite politik berkuasa, termasuk di dalamnya kepentingan kaum oligark berkenaan dengan kepindahan IKN.
Meskipun beberapa partai sudah membuat “pernyataan politik”, namun rasanya tidak sertamerta usulan tersebut akan berjalan mulus. Pertama, “pernyataan politik” tiga partai tersebut sebatas sebuah pernyataan politik. Sangat mungkin bisa berubah, tergantung perkembangan konstelasi politik. Kedua, terlihat partai-partai koalisi pendukung Pemerintah juga masih belum satu suara. PDI-P dan NasDem tegas masih menolak usulan perpanjangan jabatan Presiden Jokowi.
Ketiga, ketentuan Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Artinya, untuk menambah masa jabatan Presiden Jokowi tentu terlebih dulu harus mengamandemen Konstitusi. Keempat, untuk melakukan amandemen tentu tidak mudah, karena harus diusulkan oleh 1/3 anggota MPR yang terdiri atas anggota DPR dan DPD (Pasal 37 Ayat 1 UUD 1945), dihadiri oleh 2/3 anggota MPR (Pasal 37 Ayat 3 UUD 1945), dan disetujui oleh 50% plus 1 anggota MPR (Pasal 37 Ayat 4 UUD 1945).
Kalau PDI-P dan Partai NasDem ditambah sebagian besar suara DPD RI tetap konsisten menolak usulan penambahan jabatan Presiden Jokowi, maka hampir dipastikan upaya politik tersebut akan mengalami kegagalan. Namun kalau pun pada akhirnya semua partai pendukung Pemerintah menyatakan dukungannya, juga tetap tidak mudah. Masih ada gerakan civil society yang akan “mengganggu” usulan tersebut. Meskipun saat ini posisi civil society tidak sesolid dan sekuat dibandingkan saat melengserkan Presiden Soeharto, Mei 1998, namun kekecewaan masyarakat yang meluas terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi, akan menjadi kekuatan tersendiri untuk menggagalkan upaya penambahan masa jabatan Presiden Jokowi.