REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak, mewanti-wanti pemerintah untuk tidak menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis subsidi. Menurutnya kebijakan menaikkan harga BBM pada saat ini berpotensi mengganggu upaya pemulihan ekonomi di dalam negeri yang terdampak pandemi Covid-19 berkepanjangan.
“Kalau harga BBM naik akan menurunkan daya beli masyarakat yang saat ini masih megap-megap. Jika daya beli kembali turun, maka program pemulihan ekonomi nasional bisa gagal,” kata Amin dalam keterangan tertulisnya, Ahad (6/3)
Tidak hanya itu, kenaikan harga BBM bukan hanya mempengaruhi sektor transportasi tapi selalu menimbulkan multiflier effect. Kenaikan biaya transporasi juga dinilai akan berdampak pada kenaikan harga-harga bahan pokok yang sangat membebani rakyat menengah ke bawah. Kenaikan harga BBM juga akan memicu kenaikan harga bahan baku, baik bagi usaha mikro, kecil, menengah hingga industri besar.
“Tanpa kenaikan harga BBM subsidi, sejumlah bahan pokok sudah naik karena pemerintah gagal mengelola stabilisasi pasokan. Bisa dibayangkan harga bahan pokok akan terus melonjak jika harga BBM naik,” ujarnya.
Politikus PKS itu khawatir pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi setelah melihat beberapa gejala. Ia mencontohkan, Pertamina menaikkan harga BBM non subsidi seperti Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex pada 12 Februari 2022 dan per 3 Maret 2022.
Ia mengungkapkan dalam sebulan harga BBM di dalam negeri mengalami kenaikan dua kali. Amin memperkirakan perang antara Rusia dengan Ukraina bisa mendorong tren kenaikan harga minyak dunia lebih lama lagi, termasuk Indonesia Crude Price (ICP). Merujuk data Kemeterian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga minyak mentah Indonesia pada Februari 2022 lalu ditetapkan 95,72 dolar AS per barel, naik dari Januari 2022 sebesar 85,89 dolar AS per barel. Harga tersebut jauh diatas asumsi APBN 2022 sebesar 63 dolar AS per barel.
Amin mendesak pemerintah untuk menyiapkan skenario penambahan subsidi BBM dengan mengalihkan anggaran dari proyek-proyek yang belum mendesak. Kemudian ia juga mendesak pemerintah meniru Malaysia dalam pengelolaan industri hilir migas.
“Kebijakan pemerintah haruslah pro rakyat. Pemerintah juga harus berani dan punya wibawa dihadapan oligarki maupun kartel komoditas pokok yang bersentuhan dengan perut rakyat,” tuturnya.