REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar 15 jam dalam misi Apollo 7, Komandan Walter Schirra Jr. pilek. Tak lama kemudian, ketiga astronaut misi jatuh sakit. Lendir terkumpul di kepala mereka tanpa gravitasi untuk membebaninya, yang membuat para astronaut sangat tidak nyaman.
Mereka bahkan menolak memakai helm saat mendarat. Para astronaut khawatir bahwa dengan kongesti mereka, perubahan tekanan saat mereka memasuki atmosfer bumi akan merusak sinus mereka atau memecahkan gendang telinga mereka. Pada akhirnya, mereka mendarat dengan selamat tanpa helm, meskipun kontrol darat tidak berkenan bahwa para astronaut menolak untuk memakai perlengkapan itu.
Setelah kejadian ini, NASA memutuskan bahwa semua astronaut harus dikarantina selama dua pekan sebelum diluncurkan. Sejak itu, tidak ada catatan wabah virus di luar angkasa. Namun, para ilmuwan masih belum sepenuhnya memahami bagaimana virus dapat memengaruhi, dan berpotensi mengancam, astronaut di luar angkasa.
Dalam makalah tinjauan baru yang diterbitkan secara online 11 Februari di jurnal Astrobiology, para peneliti di Institute of Aerospace Medicine, German Aerospace Center mengeksplorasi apa yang kita ketahui sejauh ini tentang virus di habitat luar angkasa. Selain banyak cara lain yang mempengaruhi kesehatan manusia ke luar angkasa, para peneliti mengatakan sangat penting untuk memahami lebih banyak tentang virus di luar angkasa. Terutama karena astronaut menghabiskan lebih banyak waktu di sana, termasuk pada misi masa depan yang potensial ke Mars.
“Jika virus baru yang kecil dapat memulai sesuatu seperti (pandemi Covid-19) di Bumi, bayangkan bagaimana jadinya di stasiun luar angkasa,” penulis pertama Bruno Pavletić, seorang peneliti mikrobiologi ruang angkasa di German Aerospace Center, mengatakan kepada Space.com.
Pertama, tim meneliti tentang kelimpahan dan keragaman virus di lingkungan luar angkasa. Di bagian pertama ini mereka memeriksa satu-satunya penelitian, yang diterbitkan dalam jurnal Nature Communications pada 2019, yang meneliti virus di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
Dalam studi itu, para peneliti menggunakan penyeka permukaan di stasiun luar angkasa untuk mengurutkan genom virus dan mengidentifikasi virus yang berbeda.