REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan iklim membuat gletser Selandia Baru menjadi lebih kecil dan lebih tipis. Para ilmuwan memperkirakan bahwa banyak dari gletser tersebut akan lenyap dalam satu dekade.
Survei akhir musim panas tahunan terhadap lebih dari 50 gletser South Island, yang mencatat hilangnya salju dan es secara terus-menerus. Setiap tahun, National Institute of Water and Atmospheric Research (Niwa), Victoria University of Wellington, dan departemen konservasi mengumpulkan ribuan foto udara dari gletser untuk menentukan ketinggian garis salju. Lembaga itu juga mensurvei berapa banyak salju musim dingin sebelumnya yang tersisa menutupi di setiap gletser.
Ketinggian garis ekuilibrium (ELA), umumnya dikenal sebagai garis salju, memungkinkan para ilmuwan untuk menilai kondisi gletser. Karena salju musim dingin yang tersisa lebih sedikit, maka garisnya akan lebih tinggi jika ukuran gletser menyusut.
"Kami memperkirakan garis salju akan tinggi karena cuaca hangat yang kami alami dan sayangnya, firasat kami dikonfirmasi," kata Dr Andrew Lorrey, ilmuwan utama di Niwa, dilansir dari The Guardian, Senin (4/4/2022).
Implikasinya sangat signifikan. Gletser adalah sumber air tawar yang penting, dan pencairannya secara berkala ke sungai membantu irigasi lahan pertanian dan pembangkit listrik tenaga air, sekaligus bertindak sebagai penyangga kekeringan. Es yang mencair juga berkontribusi untuk menaikkan permukaan laut.
“Ini akan memiliki dampak yang luas, seperti mengubah lanskap kita yang indah, mempengaruhi mata pencaharian orang-orang yang mengandalkan keajaiban alam ini untuk pariwisata, dan mengalirkan efek dari penurunan air lelehan selama periode kekeringan,” kata Lorrey.
Menurut Dr Lauren Vargo dari Victoria University, gletser Selandia Baru telah kehilangan massanya hampir setiap tahun selama dekade terakhir. "Tapi yang lebih mengejutkan bagi saya adalah betapa banyak gletser menjadi lebih kecil," katanya.
Menurut Niwa, negara itu mengalami empat hingga lima kali lebih banyak suhu ekstrem daripada yang diperkirakan dalam iklim tanpa pemanasan jangka panjang. Tahun 2021 adalah tahun terpanas di Selandia Baru dalam catatan.
Pekan lalu, suhu di Antartika lebih dari 40 derajat Celcius di atas rata-rata musiman. “Ketinggian garis salju tahun ini tinggi, yang berarti sebagian besar salju musim dingin telah mencair, meninggalkan banyak es glasial yang terbuka. Tampaknya menjadi tahun yang buruk lagi untuk es kita, melanjutkan tren dari beberapa tahun terakhir, dan sangat menyedihkan melihat penurunan yang sedang berlangsung,” ujar Gregor Macara, seorang ahli iklim Niwa.
Survei udara jangka panjang dimulai pada tahun 1977 dan memberikan garis waktu visual mundurnya gletser. Suhu global telah menghangat sekitar 1,1 derajat Celcius sejak survei dimulai. Niwa memperkirakan lebih dari sepertiga volume es di Pegunungan Alpen Selatan telah lenyap.