Oleh : H Fuad Nashori*
REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah riset peneliti Universitas Indonesia tahun 2021 memotret resiliensi orang Indonesia. Penelitian yang melibatkan 5.817 partisipan yang berusia 18-82 tahun dengan profesi yang sangat beragam ini menunjukkan umumnya orang Indonesia memiliki daya tahan yang tidak menggembirakan. Saat itu, resiliensi orang Indonesia rendah.
Resiliensi, oleh American Psychological Association, diartikan sebagai proses adaptasi dalam menghadapi kesulitan, trauma, tragedi, ancaman atau bahkan sumber-sumber signifikan yang dapat menyebabkan individu stres. Dua pakar utama resiliensi, Kathryn M Connor dan Jonathan RT Davidson, dalam tulisannya di Depression and Anxiety (2003), mengartikan resiliensi sebagai kualitas kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan. Dari pengertian di atas, dapat dipahami kalau seseorang punya resiliensi tinggi berarti mereka mampu bangkit dan beradaptasi terhadap kesulitan, dalam hal ini Covid-19. Sebaliknya, mereka yang resiliensinya rendah tidak atau belum bangkit dan tidak atau belum beradaptasi dengan kesulitan.
Apa yang kita saksikan sekarang? Kehidupan seakan seperti normal kembali. Sebagian orang menyebutnya pascanormal. Jalan, mal, kafe, kampus, sekolah, bank, perkantoran, bahkan pasar yang sebelumnya dibatasi, sekarang serba bebas. Dengan menunjukkan aplikasi PeduliLindungi, semua beres. Ini seperti memberi isyarat bangsa kita telah menghayati hidup kembali seperti normal dan kita menerima Covid-19 sebagai bagian kehidupan. Di balik fakta yang terlihat ini kita merasakan adanya kebangkitan kembali setelah mengalami keterpurukan. Ungkapan “bersahabat dengan Covid” yang sering didengungkan menggambarkan tingkat adaptasi yang berkembang sangat baik.
Religiusitas dan Resiliensi
Ajaran agama memegang peran yang sangat penting kala menghadapi wabah besar seperti Covid-19. Yang pasti orang beragama percaya tidak mungkin ada wabah yang menjadi pandemi tanpa izin Allah. Bila Allah mengizinkan sesuatu terjadi, maka tidak ada kekuatan yang dapat menolak kehadirannya. Bila Allah menghendaki tidak terjadi sesuatu, maka tak ada kekuatan apapun selain Allah yang membuatnya terjadi. Orang yang beragama percaya bencana adalah ujian Allah bagi manusia. Allah berfirman: Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu (QS Ali Imran, 3:186). Musibah sendiri merupakan ujian untuk mengukur kualitas manusia agar akan meningkat keberagamaannya atau ketaatan kepada Allah.
Sejumlah penelitian sebelum Covid-19 menunjukkan religiusitas memiliki pengaruh terhadap kemampuan bangkit. Keberagamaan menjadikan orang yang depresi tetap resilien. Keberagamaan menjadikan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga tetap resilien. Keberagamaan juga menjadikan pasien kanker tetap resilien.
Di awal Covid-19, orang terkaget-kaget dengan pandemi yang luar biasa ganas ini. Kecemasan individu sangat tinggi. Orang yang beragama segera melakukan penyesuaian diri dengan kembali kepada agama. Orang yang sabar, yang memiliki kesadaran bahwa sesuatu terjadi karena Allah dan bersedia menerima kenyataan sekalipun pahit, tetap berupaya untuk menyikapi pandemik dengan tegar. Sayangnya adalah umumnya orang butuh waktu untuk menegakkan sikap realistis. Mungkin dikarenakan keberagamaan yang belum terpatri kuat dalam hidup individu.
Sesudah Covid-19, sejumlah hasil penelitian juga menunjukkan keberagamaan berperanan dalam meningkatkan daya tahan dan menurunkan stres. Hasil penelitian Elmy Bonafita Zahro dkk (2022) menunjukkan religiusitas memberikan pengaruh nyata terhadap resiliensi keluarga terdampak Covid-19. Mereka yang terdampak Covid-19 (penyintas Covid-19 atau keluarga penyintas Covid-19) memandang apa yang mereka alami sebagai ujian dari Allah. Itu yang menjadikan mereka resilien. Hasil penelitian di atas mendapat dukungan dari hasil riset Farra Annisa Rahmania dan Fuad Nashori yang dimuat Jurnal Psikologi Islam dan Budaya (2021). Mereka menemukan para nakes yang berhadapan langsung dengan warga masyarakat yang menjadi penyintas Covid-19 memiliki modal kesabaran dan kebersyukuran yang memungkinannya tidak mengalami stres.
Dukungan Sosial dan Resiliensi
“Resiliensi rendah bukan karena menderita penyakit, tetapi karena orang-orang kehilangan kesenangan mereka,” ungkap sejumlah pihak. “Seperti tidak bisa bertemu teman atau saudara, nongkrong, atau berpergian ke suatu tempat”. Ungkapan di atas menggambarkan pentingnya dukungan sosial hingga seseorang dapat menerima kenyataan yang pahit. Dukungan sosial berarti perhatian atau kepedulian dari orang yang menghargai dan menyayangi individu. Dukungan sosial bersumber dari keluarga, teman, dan orang-orang penting lain. Dukungan sosial dapat berwujud informasi, keuangan, perhatian, pengahargaan.
Dukungan sosial tak diragukan memegang peran yang amat penting agar seseorang memiliki kekuatan batin yang bernama resiliensi. Saat orang-orang harus bekerja atau bersekolah dari rumah dan di sana ada dukungan sosial dari keluarga dan teman, maka orang-orang akan merasakan dirinya yang punya daya tahan tinggi. Namun, bila saat menghadapi Covid-19 tidak beroleh dukungan dari keluarga, maka individu akan merasakan susahnya menerima kenyataan pahit di mana Covid-19 semakin hari semakin mendekati rumah mereka.
Jauh sebelum Covid-19, para ahli telah menemukan dukungan sosial menjadi modal untuk terjadinya resiliensi. Dukungan sosial menjadikan petugas kepolisian yang mengalami depresi lebih resilien. Dukungan menjadikan orang-orang yang mengalami trauma lebih resilien. Dukungan sosial menjadikan keluarga pasien penyakit kanker lebih resilien. Dukungan sosial juga menjadikan mahasiswa internasional menjadi lebih resilien.
Saat Covid-19 berlangsung, dukungan sosial memiliki peran yang riil dalam memantapkan daya tahan individu. Hasil riset Esther Ortiz-Calvo dkk (2022) yang terbit Journal of Psychiatric Research mengungkapkan individu yang mempersepsikan bahwa dirinya mendapatkan perhatian dan dukungan orang lain akan merasakan daya tahan yang lebih besar. Dampaknya adalah mereka terbebas dari stres, depresi, dan pikiran bunuh diri.
Demikian. Bagaimana menurut Anda?
*Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII