REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: dr. Pariawan Lutfi Ghazali, M.Kes*
Durasi panjang dan distribusi sangat luas, membuat pandemi Covid-19 berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia dan berbagai kelompok penduduk. Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas memiliki kerentanan lebih besar untuk terinfeksi Covid-19, karena hambatan dalam beberapa hal, yaitu akses informasi kesehatan, implementasi protokol kesehatan, akses pelayanan kesehatan, dan kondisi disabilitasnya.
Akses informasi kesehatan
Informasi kesehatan tentang Covid-19 melalui berbagai media promosi kesehatan telah diproduksi oleh berbagai institusi pemerintah dan swasta. Media tersebut, baik cetak maupun elektronik, menjadi sumber pengetahuan tentang Covid-19 bagi masyarakat. Namun media-media tersebut sekalipun tidak semuanya dapat diakses oleh penyandang disabilitas.
Padahal UU RI nomor 8 tahun 2016 pasal 12 menjamin hak penyandang disabilitas dalam memperoleh informasi dan komunikasi kesehatan. Media cetak, sangat sedikit yang diproduksi dalam huruf braille dan gambar taktil, agar dapat diakses oleh penyandang disabilitas netra.
Media audio visual seharusnya dilengkapi dengan aplikasi pembaca layar dan Penerjemah Bahasa Isyarat (PBI) agar dapat diakses oleh penyandang disabilitas rungu. Penyandang disabilitas mental atau intelektual memerlukan perantara untuk dapat memahami informasi kesehatan tersebut. Informasi ini menjadi pintu masuk bagi upaya lain dalam penanggulangan Covid-19.
Implementasi protokol kesehatan penyandang disabilitas
Mempunyai kendala untuk menerapkan protokol kesehatan (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas). Kesulitan melakukan cuci tangan bisa disebabkan oleh sarana dan prasarana cuci tangan yang tidak dapat diakses oleh penyandang disabilitas (terutama motorik), karena letak tempat cuci tangan, peralatan penunjang, maupun petunjuk cara melakukan cuci tangan yang benar.
Keterbatasan fisik, intelektual, mental, atau sensorik menyebabkan penyandang disabilitas sulit untuk menghindari sumber paparan virus Covid-19. Hal ini dapat diminimalkan dengan memakai masker. Meskipun secara teknis tidak terlalu sulit, tetapi pemakaian masker dapat menjadi kendala bagi penyandang disabilitas rungu, yang mengandalkan gerak bibir dalam berkomunikasi. Masker transparan mungkin dapat menjadi alternatif untuk mengatasi hal tersebut.
Mobilitas penyandang disabilitas, tanpa kebijakan pengurangan pun, sudah sangat sedikit karena kondisi keterbatasannya. Sehingga selama pandemi Covid-19 penyandang disabilitas sebagian besar waktunya dihabiskan di panti atau rumah tempat tinggal. Kondisi ini dapat mengurangi risiko tertular Covid-19. Namun kondisi ini menimbulkan tekanan psikologis berupa kebosanan, kejenuhan, dan kecemasan.
Protokol menjaga jarak sangat sulit diterapkan oleh sebagian penyandang disabilitas. Seperti penyandang netra, yang salah satunya mengandalkan rabaan untuk mengenali objek. Sebagian penyandang disabilitas, terutama anak, memerlukan pendamping, yang tidak mungkin berjarak dengan yang didampingi. Komunitas penyandang disabilitas yang tinggal di panti atau asrama, tidak bisa menerapkan protokol "menjauhi kerumunan". Komunitas ini dalam keseharian beraktivitas bersama dan cenderung berkerumun, di lingkungan yang luasnya terbatas.
Akses pelayanan kesehatan
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) meskipun berhasil mengendalikan penyebaran Covid-19, di sisi lain membuat penyandang disabilitas semakin sulit mendapatkan akses pelayanan kesehatan, pembatasan kunjungan pasien di tempat layanan kesehatan, ditambah ketakutan terinfeksi juga ikut berkontribusi dalam masalah ini.
Padahal sebagian besar penyandang disabilitas membutuhkan upaya kesehatan yang rutin, terutama kuratif dan rehabilitatif, yang kalau tidak dilakukan dapat memperburuk status kesehatan dan disabilitasnya. Ruang pelayanan khusus dan kunjungan rumah, bisa menjadi alternatif untuk mengatasi kesenjangan ini.
Penapisan menjadi langkah yang efektif untuk mengatasi kasus Covid-19 pada penyandang disabilitas. Hasil penapisan dapat memilah penyandang disabilitas yang tidak terinfeksi dengan yang positif terpapar Covid-19.
Isolasi mandiri dapat dirancang bagi penyandang disabilitas terpapar Covid-19 tanpa gejala atau gejala ringan. Hal ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa isolasi ini tidak mungkin sepenuhnya mandiri. Penyandang disabilitas, apalagi anak, memerlukan pendamping selama isolasi.
Sehingga perlu alat pelindung diri bagi pendamping sebagai proteksi untuk menjaga kondisinya tetap sehat. Begitu juga penyandang disabilitas yang perlu dirawat di rumah sakit. Petugas kesehatan tidak seluruhnya mempunyai keterampilan khusus untuk melayani pasien dengan disabilitas. Maka peran pendamping menjadi sangat vital, untuk membantu petugas kesehatan dalam menangani kasus, seperti komunikasi.
Vaksinasi
Vaksinasi sebagai upaya efektif dalam penanggulangan Covid-19 terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia, agar masyarakat Indonesia segera mencapai kekebalan kelompok (herd immunity). Program vaksinasi pada penyandang disabilitas juga diakselerasi sejak Juni 2021.
Pemerintah telah menyediakan tempat pelaksanaan vaksinasi serta layanan pendampingan penyandang disabilitas ke pusat vaksinasi. Beberapa kelompok masyarakat, institusi swasta, dan lembaga swadaya masyarakat menyelenggarakan hal yang sama.
*Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia