REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Elba Damhuri, Head of Republika.co.id
Saham digital runtuh. Ini trending topik panas di seluruh dunia seiring kenaikan inflasi di Amerika Serikat yang disusul kenaikan agresif suku bunga oleh The Fed --bank sentral Amerika Serikat.
Kepala The Fed Jerome Powell menegaskan inflasi di Amerika sudah sangat tinggi dan The Fed mengambil langkah yang diperlukan. Pada Maret 2022, inflasi tahunan Amerika mencapai 8,5 persen dan pada April sebesar 8,3 persen. The Fed pun menaikkan suku bunga 50 basis poin dengan yield obligasi 3 persen atau tertinggi dalam beberapa dekade ini.
Saham-saham digital sangat sensitif dengan kenaikan suku bunga. Bunga kredit tinggi berdampak pada biaya utang tinggi. Investor pun melepas saham-saham digital dan beralih ke emiten yang memiliki arus kas lebih lancar.
Dari catatan CNBC Internasional pada pekan kedua Mei 2022 --beberapa hari setelah The Fed menaikkan suku bunga acuan-- perusahaan-perusahaan teknologi seperti Apple, Microsoft, Tesla, Amazon, Alphabet, hingga Facebook kehilangan trilunan dolar AS dalam perdagangan saham tidak lebih dari lima hari.
Beberapa perusahaan teknologi dengan valuasi tertinggi kehilangan 1 triliun dolar AS hanya dalam tiga hari sesi perdagangan bursa. Apple Inc, perusahaan dengan valuasi tertinggi, telah kehilangan 220 miliar dolar AS sejak perdagangan ditutup pada Rabu lalu.
Valuasi Microsoft terpangkas 189 miliar dolar AS, Tesla 199 miliar dolar AS, Amazon 173 miliar dolar AS, Alphabet 123 miliar dolar, Nvidia 85 miliar dolar, dan Facebook kehilangan valuasi 70 miliar dolar AS.
Geger jatuhnya saham-saham teknologi global ini berdampak pada kerugian investor perusahaan teknologi, seperti Softbank. SoftBank mencatatkan rekor kerugian 27 miliar dolar AS atau sekitar Rp 395 triliun pada unit investasinya, Vision Fund, akibat runtuhnya saham perusahaan teknologi seiring dengan kebijakan bank sentral Amerika.
Kerugian Vision Fund itu menjadi yang terbesar sejak dana investasi dimulai pada 2017. Kerugian Vision Fund juga berkontribusi pada rekor kerugian tahunan 13 miliar dolar AS atau Rp 190 triliun untuk seluruh unit grup SoftBank.
Gelombang turunnya saham-saham digital terjadi juga di Indonesia. Saham Bank Jago (ARTO), Bank Neo Commerce (BBYB), Bank Raya (AGRO), Bank Aladin Syariah (BANK), dan Gojek Tokpedia (GOTO) mengalami koreksi cukup dalam.
Saham ARTO kini berada di level Rp 7.000-an dari sempat menembus Rp 16 ribu atau terkoreksi 50 persen lebih. Hal sama dialami BBYB yang terkoreksi 50 persen lebih yang kini bertengger di angka Rp 1.200-an.
Yang menjadi perbincangan hangat adalah penurunan saham GOTO yang sempat menyentuh angka psikologis di bawah Rp 200. Dalam beberapa hari perdagangan saham GOTO ditutup dengan penurunan sehingga masuk kategori saham dengan pergerakan tidak wajar atau Unusual Market Activity (UMA).
Namun, pada perdagangan Selasa dan Rabu (17-18 Mei) ini, saham GOTO rebound dan kembali masuk ke level Rp 200-an per lembar. Memang, saat IPO harga saham GOTO ditawarkan di Rp 338/unit. Tentu, ini kabar gembira mengingat gempuran kejatuhan saham-saham teknologi memang ada batasnya.
Saham GOTO terkoreksi ini pun digoreng dengan mengaitkan investasi Telkomsel, anak usaha PT Telkom Indonesia, di GOTO. Benar, Telkomsel menanamkan modalnya di GOTO sebesar 370 juta dolar AS atau setara Rp 5 triliun. Nilai ini bersumber dari 11 komponen bisnis kerja sama Telkomsel dan GOTO, yang merupakan ekosistem digital terbesar saat ini di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Penurunan saham GOTO ini berdampak pada terjadinya unrealized loss (kerugian yang belum direalisasikan) atau kerugian yang hanya dicatat di buku Telkomsel, sebesar Rp 881 miliar. Unrealized loss ini kemudian menjadi serangan dan kritik keras terhadap masuknya Telkomsel ke GOTO.
Telkomsel, padahal, sebelumnya pernah mencatatkan unrealized gain atau keuntungan yang belum direalisasikan atas investasinya di GOTO sebesar Rp 2,5 triliun. Kini, Telkomsel menghadapi unrealized loss yang sesuai dinamikanya akan bergerak dan berubah lagi.
Saham naik atau turun itu hal biasa. Berbisnis di perusahaan teknologi tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi, profit atau loss harga saham. Ada keuntungan jauh lebih besar dari sekadar harga saham di sana, yakni ekosistem aktif dan produktif.
Saat ini, GOTO menjadi satu-satunya perusahaan di Indonesia dan Asia Tenggara menawarkan layanan transportasi (Gojek), makanan dan minuman (GoFood), pembayaran digital (GoPay), dan jual beli online (Tokopedia) secara terintegrasi.
Layanan GOTO menghubungkan lebih dari 55 juta Annual Transacting Users (ATU) dengan 14 juta pedagang dan 2,5 juta mitra pengemudi yang terdaftar per 30 September 2021. Transaksi bisnis per hari di Goto mencapai 6 juta pemesanan (transaksi).
Jadi, masuknya Telkomsel ke GOTO ini merupakan hal tepat dan strategis. Pertama, sinergi dan kolaborasi strategis Telkomsel dengan ekosistem GOTO yang terbesar di Asia Tenggara. GOTO menyatukan empat eksosistem besar dalam satu super-ekosistem --ini seperti melihat ada Uber, Paypal, Amazon di satu platform ekosistem GOTO.
Bisa dibayangkan apa yang bisa ditawarkan Telkomsel di dalam ekosistem ini. Telkomsel bisa menghadirkan program khusus untuk Mitra Gojek, menawarkan easy onboarding merchant Mitra Gojek menjadi reseller Telkomsel, akses mudah untuk reseller melalui GoShop, dan memberikan fitur-fitur keamanan.
Telkomsel hadir sebagai salah satu solusi digital di ekosistem Gojek yang win-win. Telkomsel bisa menjadi solusi bagi pengemudi dan merchant Gojek untuk meningkatkan engagement melalui penggunaan layanan digital terkoneksi dan platform advertising Telkomsel. Dari ini akan tercipta nilai tambah yang berkelanjutan baik bagi Telkom dan Telkomsel, GOTO dan Indonesia di masa depan.
Sebagai perbandingan, Google berinvestasi di GOTO tidak hanya melihat keuntungan investasi, tapi peluang bisnis di balik ekosistem besar itu. GOTO menggunakan berbagai sistem Google di dalam bisnis mereka, seperti Google Cloud.
Juga, investasi Astra (produsen motor dan mobil) di GOTO tidak semata investasi portofolio. Ada banyak irisan dan kesamaan bisnis GOTO dan Astra yang bisa dioptimalkan secara bersama sama.
Kedua, investasi Telkom Group di GOTO saat ini merupakan sebuah keniscayaan. Perusahaan digital dan telekomunikasi masuk ke perusahaan digital lainnya terjadi di banyak negara. Perusahaan-perusahaan telekomunikasi global berinvestasi di perusahaan digital sudah tak terhindarkan lagi.
Perusahaaan telekomunikasi masuk ke perusahaan digital bisa menaikkan pendapatan, memperluas jangkauan bisnisnya, dan menciptakan pasar digital yang terus berkembang. Bahkan, perusahaan telko ini bisa menjadi penggerak utama eksosistem digital.
Telkom dan Telkomsel harus menjadi pusaran inti (core) perkembangan dan pertumbuhan ekonomi digital Indonesia yang terus berkembang pesat. Mereka bisa menjadi pendorong utama para pemain lokal bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, bukan sekadar market dari pemain-pemain asing.
Ketiga, Industri startup di Indonesia memerlukan dukungan banyak pihak. Perusahaan teknologi di Indonesia terus tumbuh dan berkembang, mereka harus menjadi penggerak ekonomi bangsa.
Suka tidak suka, Indonesia sudah memiliki posisi kuat dengan pertumbuhan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Sejumlah decacorn asal Indonesia telah memainkan peran signifikan dan mampu bersaing dengan pemain regional. Sebut saja Gojek, Tokopedia, Blibli, Tiket.com, dan Traveloka.
Potential loss dari investasi di perusahaan teknologi adalah hal yang wajar. Ini mengingat investasi di perusahaan teknologi sifatnya selalu jangka panjang. Contohnya, perusahaan teknologi global, seperti Amazon, yang baru membukukan laba di tahun keenam setelah menjadi perusahaan terbuka di New York.
Tekanan terhadap saham-saham teknologi diyakini bersifat sementara. Fakta tak terbantahkan adalah ekonomi digital memiliki potensi bisnis luar biasa dan sejalan dengan kehendak zaman. Apalagi, penetrasi masyarakat atas layanan digital masih rendah membuat potensi industri digital di Indonesia masih tinggi.
Keempat, disrupsi digital merupakan sebuah kenyataan. Indonesia harus menjadi pemain utama di negaranya sendiri, baik itu dilakukan swasta nasional maupun perusahaan milik negara atau BUMN. Apa yang dilakukan Telkom di GOTO menjadi bagian penting dari kehadiran negara dalam menjawab tantangan disrupsi digital.
Pada awal-awal ramai investasi di Gojek dilakukan investor asing, banyak yang meributkan ini. Hal wajar tentunya mengingat Gojek menjadi produk bisnis digital kebanggaan anak bangsa. Kini, perusahaan nasional berada di Gojek untuk bersama-sama mengembangkan dan menumbuhkan ekonomi digital Indonesia