REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR, Ferdiansyah, mendesak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tidak memaksakan implementasi Kurikulum Merdeka pada tahun ajaran 2024/2025. Dia menilai, apabila kurikulum tersebut dipaksakan, hal itu akan berdampak pada pendidikan Indonesia yang akan amburadul karena ketidaksiapan sekolah dari berbagai sisi.
"Kami memohon dengan hormat, juga teman-teman Komisi X, jangan paksakan (pelaksanaan) Kurikulum Merdeka," ujar Ferdiansyah dalam laman resmi Komisi X DPR, dikutip Kamis (7/7/2022).
Politikus Partai Golkar itu menilai, jika melihat dalam proses dan kesiapan untuk mengimplementasikan Kurikulum Merdeka, termasuk pengalaman sebelumnya, hal tersebut tidak akan berjalan dengan lancar. Menurut dia, hal tersebut bisa dicek sendiri oleh para anggota Komisi X DPR ketika pulang ke daerah pemilihan (dapil) masing-masing dan minimal mengunjungi 40 sekolah.
"(Bisa) kita cek, silakan Anggota Komisi X DPR pulang ke dapil masing-masing, minimal mengunjungi 40 sekolah. Cek satu persatu gurunya sarana dan prasarana dan sebagainya," ujar legislator dapil Jawa Barat XI tersebut.
Ferdiansyah juga meminta kebijakan kurikulum tersebut agar dikaji ulang. Dia mewanti agar jangan sampai di masa yang akan datang kebijakan tersebut menimbulkan permasalahan baru.
Dia menjelaskan, Komisi X DPR telah melakukan kunjungan ke 89 lembaga/sekolah di 22 provinsi dan 42 kabupaten kota. Pertemuan tersebut menghasilkan kesimpulan, kata dia, pelatihan guru terhadap Kurikulum Merdeka tidak akan mungkin dilakukan.
Senada dengan yang Ferdiansyah katakan, Komisi X DPR menilai implementasi Kurikulum Merdeka masih memerlukan kajian akademis dan evaluasi komprehensif. Kajian tersebut melingkupi pertimbangan kondisi sosiologis dan kemampuan pendidik serta tenaga kependidikan.
Hal tersebut sudah menjadi rekomendasi salah satu panitia kerja (Panja) yang dibentuk oleh Komisi X DPR. "Hasil rekomendasi Panja yang telah dilaksanakan Komisi X DPR RI sebelumnya, sebagian besar memberikan penegasan terkait lemahnya landasan hukum kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh Kemendikbudristek," ujar Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih.
Fikri menjelaskan, lemahnya landasan hukum kebijakan pendidikan tersebut terlihat baik dari sisi tidak adanya kajian akademik atau naskah akademik. Selain itu, Komisi X DPR juga menemukan lemahnya dasar filosofis yuridis maupun sosiologis dan ketidaksesuaian dengan peraturan pendidikan yang lainnya.
Fikri mengatakan, perubahan satu kebijakan, dalam hal ini kurikulum baru, membutuhkan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi kurikulum sebelumnya. Perubahan kurikulum tersebut tidak hanya berdampak pada proses pembelajaran di kelas saja, tapi juga aspek lainnya.
"Perubahan kurikulum tidak hanya berdampak pada proses pembelajaran di kelas saja, namun juga bagaimana mempersiapkan guru, menyediakan panduan buku-buku referensi, sosialisasi terhadap tindakan guru dari orang tua wali murid, dan ketersediaan sarana prasarana pendukung," kata dia.