REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perempuan Amerika Serikat yang memerlukan aborsi kini harus mendapatkan izin dari negara bagian setelah hak yang dikenal dengan istilah "Roe vs Wade" itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Mereka pun diserukan untuk tidak mencari obat aborsi mifepristone secara ilegal karena berbahaya.
Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui penggunaan mifepristone untuk aborsi pada 2000. Lalu, apa itu mifespristone?
Menurut FDA, mifepristone (mifeprex) digunakan bersama obat lain yang disebut misoprostol untuk mengakhiri kehamilan yang berkembang kurang dari 70 hari. Obat itu memblokir progesteron, hormon yang diperlukan untuk melanjutkan kehamilan.
Mifeprex pertama kali disetujui pada 2000. Lalu, pada 2016, FDA menyetujui aplikasi tambahan berdasarkan data dan informasi yang dikirimkan oleh produsen obat.
Setelah meninjau pelaksanaan itu, agensi tersebut mengatakan bahwa mifeprex itu aman dan efektif bila digunakan untuk mengakhiri kehamilan sesuai dengan label yang telah direvisi. Tiga tahun kemudian, FDA menyetujui tablet mifepristone pada 200 miligram (versi generik mifeprex).
Dilansir Fox News, Kamis (7/7/2022), pil itu berefek kira-kira dua hari setelah meminumnya. Namun, siapa pun yang meminumnya harus berkonsultasi lagi dengan dokter sekitar satu hingga dua pekan kemudian.
Orang yang tidak boleh minum obat ini adalah mereka yang pernah mengalami kehamilan ektopik alias hamil di luar kandungan, memiliki masalah dengan kelenjar adrenal, atau sedang dirawat dengan terapi kortikosteroid jangka panjang. Pil juga tak dapat dikonsumsi oleh perempuan yang memiliki masalah perdarahan atau sedang menggunakan antikoagulan, memiliki keturunan kelainan darah porfiria, dan yang memakai alat kontrasepsi IUD.
Kemungkinan efek samping dari penggunaan mifeprex termasuk keram dan pendarahan vagina, mual, lemas, demam, menggigil, muntah, sakit kepala, diare, dan pusing. Keluhan itu dapat muncul dalam satu atau dua hari pertama setelah minum kedua obat tersebut.