IHRAM.CO.ID, Oleh: Fikrul Hanif Sufyan (Pemerhati dan Penulis Sejarah/ Pengajar di STKIP Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh)
Sosok Rasuna Said barangkali tidaklah asing –sebab namanya telah diabadikan dalam ruas jalan di Tanah Air, dan telah digelari Pahlawan Nasional pada 13 Desember 1934. Namun, teriakan lantang ‘singa podium’ untuk Indonesia merdeka di tahun 1932, dan berujung pada penahanannya, barangkali jarang terungkap.
Kilas balik Rasuna dalam Pendidikannya:
Rasuna dilahirkan pada 14 September 1910 di Nagari Panyinggahan, Kabupaten Agam, Sumatra Barat (White, 2021). Rasuna terlahir dari keluarga yang mapan. Ayahnya bernama Muhamad Said.
Ayahnya adalah seorang saudagar kaya, juga seorang aktivis politik yang disegani. Tentu mudah ditebak, bahwa darah aktivis sudah mengalir deras di tubuh Rasuna –yang bersumber dari ayah kandungnya.
Sebagai anak perempuan dalam keluarganya, Rasuna mempunyai kedudukan yang penting. Perempuan dalam susunan masyarakat Minangkabau memiliki peranan yang khas. Sistem kekerabatannya adalah matrilineal, atau menurut garis keterunan ibu.
Oleh sebab itu, sistem adat matrilineal tidak hanya penarikan garis keturunan berdasarkan ibu, tetapi kekuasaan juga berada di tangan perempuan (Navis, 1986). Sehingga bagi orang Minang–perempuan diposisikan dirinya sebagai ibu yang melahirkan anak-anaknya.
Untuk mempersiapkan dirinya sebagai seorang “ibu” –sedari kecil Rasuna dididik dalam suasana keislaman yang kuat. Karena dibesarkan dalam keluarga yang terdidik, Rasuna telah disekolahkan ayahnya di Volkschool Maninjau tahun 1918. Setamat dari Volkschool, Muhammad Said tidak ingin anak perempuannya itu, melanjutkan ke sekolah bercorak Belanda.
Ia pun melanjutkan strata pendidikan anaknya ke sekolah agama Ar-Rasyidiyah, kemudian melanjutkan ke Madrasatu lil Banat/ Diniyah School Putri. Setamat dari sekolah yang dipimpin Zainudin Labay el-Yunussy tersebut, Rasuna dipilih Rahmah sebagai guru bantu khsuus di sekolah putri pada tahun 1923.