Ahad 11 Sep 2022 10:23 WIB
Menyambut Harlah ke-37 Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta

Di Balik Pesan Sang Kiai

Benteng dakwah ditandai dengan mendirikan Ponpes Asshiddiqiyah

Pimpinan Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah KH Noer Muhammad Iskandar memberikan tausiyah pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh PBNU di Masjid Istiqlal, Jakarta, Sabtu (8/12).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pimpinan Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah KH Noer Muhammad Iskandar memberikan tausiyah pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh PBNU di Masjid Istiqlal, Jakarta, Sabtu (8/12).

Oleh : Muchlisin (Tim Penulis Buku Saksi Kebajikan Sang Kyai)

REPUBLIKA.CO.ID, Di balik orang besar, pasti ada tangan dingin orang-orang besar yang membesarkan, tak terkecuali, DR. KH. Noer Muhammad Iskandar,SQ. Sejak usia dini, beliau dididik oleh ulama terkemuka, termasuk ayahnya sendiri KH. Askandar, ulama kharismatik asal Banyuwangi. 

Selanjutnya, estafet keilmuan dibimbing oleh KH. Mahrus Aly, saat menimba ilmu di Pondok Pesantren (Ponpes) Hidayatul Mubtadi'ien, Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Kiai Noer, panggilan akrab DR. KH. Noer Muhammad Iskandar SQ, juga sempat "diasuh" ilmunya oleh Kyai Muslih Futuhiyah,  Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Dari sini, melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Perguruan Tinggi Ilmu Qur'an (PTIQ) Jakarta, sekaligus menjadi cikal bakal awal keinginannya berdakwah di Kota Besar bernama Jakarta. 

Benteng dakwah ditandai dengan mendirikan Ponpes  Asshiddiqiyah, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, 1985 silam. Dengan kesungguhan dan Istiqomah beliau mendidik para santri, hingga lambat laun muridnya mencapai 20.000 yang tersebar di Nusantara, termasuk di Malaysia dan Brunei Darussalam. Para alumni kini menjadi kelanjutan peran dakwah Kiai Noer dengan berbagai macam peran dan fungsi di masyarakat, terutama membangun lembaga pendidikan keagamaan berbasis pondok pesantren. 

Kiai Noer memang luar biasa. Beliau menerapkan keseimbangan terapan ilmu agama (Kitab Kuning) dan ilmu umum (Pendidikan Formal), dengan harapan santri mampu beradaptasi dengan perubahan zaman yang begitu cepat. Globalisasi disertai teknologi canggih silahkan berjalan, tapi kekuatan agama juga harus dijaga dan ditegakkan.   

Satu di antara nostalgia santri yang tak terlupakan yakni pengajian yang rutin digelar Ba'da Subuh. Selepas sholat, beliau mengajarkan Kitab Tafsir Jalalain dan Kitab Ta'limul Muta'alim, sebagai pendidikan akhlak bagi para santri sekaligus berharap diamalkan saat terjun di masyarakat.

Kaidah fiqih : Almuhafadhotu 'alal qodimissholih wal akhdzu biljadidil ashlah (Menjaga tradisi lama yang baik dan menerima tradisi baru yang lebih baik) menjadi landasan berpikir beliau dalam konsep terapan ilmu. Kendati hidup di zaman kekinian, Kiai Noer tetap berpegang teguh dengan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya. Atas dasar inilah, keberkahan dan kemajuan Ponpes Asshiddiqiyah tak terbendung. Hingga kini, sudah 12 cabang tersebar di Indonesia. 

Sebagai seorang guru, beliau memiliki harapan besar terhadap santri-santrinya, sebagaimana umumnya para kiai lain lainnya. Yang paling sederhana, berharap para santri ketika pulang ke kampung halamannya bisa mengajar ngaji, memimpin sholat, baca tahlil, baca doa, khotbah dan lain-lain. Ada juga yang terlihat sangat visioner, berharap kelak santrinya menjadi pengusaha, pejabat, konglomerat, diplomat, advokat dan seterusnya.

Dalam nasehatnya, Kiai Noer pernah berpesan agar santrinya menjadi manusia-manusia yang bermanfaat. Sekilas terlihat ringan, tapi terkandung makna berat, karena harus Istiqomah sekaligus menjadi suri tauladan bagi masyarakat. Beliau tidak berbicara soal capaian sukses yang diukur dengan kebendaan atau keduniaan, meskipun nilai keduniaan juga tak kalah pentingnya. Khoirunnas 'anfauhum linnas (Sebaik baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lain)," begitu katanya.  

Menjadi  insan yang bermanfaat bisa di mana saja, kapan saja, bisa sebagai apa saja, dan dengan  apa saja. Dan ini butuh latihan yang luar biasa, terutama menghilangkan rasa PALING pada dirinya. Kenapa butuh latihan yang luar biasa? Karena tidak bisa setiap orang mampu mengamalkannya. Nyatanya banyak orang yang kaya raya tidak mampu bersedekah, banyak orang pandai tidak bisa berbagi ilmunya, banyak orang terlihat soleh, tapi juga tidak bisa menjadi teladan buat yang lain.

Itulah sepenggal Pesan Sang Kiai, Almaghfurlah DR. KH Noer Muhammad Iskandar pendiri Ponpes Asshiddiqiyah. Semoga apa yang beliau telah tanamkan menjadi ilmu yang bermanfaat. Menjadikan muridnya mampu menebar manfaat dimanapun berada.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement