REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesantunan dan keanggunan terpancar dari para perempuan dengan busana indah berwarna-warni yang menjadi peserta Parade Budaya Nusantara Baju Kurung Basiba di Jakarta akhir Agustus lalu. Mereka adalah anggota Bundo Kanduang, organisasi perempuan Minang yang berkomitmen menjaga dan melestarikan nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau.
Salah satu cara pelestarian tersebut yakni berparade mengenakan mengenakan busana adat khas yang disebut baju kuruang basiba. Ada filosofi mendalam dari busana tersebut yang merupakan cerminan jati diri dan identitas perempuan Minang.
Anggota organisasi Bundo Kanduang DKI Jakarta, Liza Festary, menjelaskan ada sejumlah pakem yang harus diterapkan dalam pemakaian atau pembuatan baju kuruang basiba. Hal utama adalah modelnya yang longgar.
Baju kuruang basiba lazimnya menjuntai panjang hingga ke lutut serta memiliki bagian lengan sampai ke pergelangan tangan. Kekhasan lain yakni adanya "siba" yang menyambungkan potongan pakaian sedemikian rupa hingga bisa menyamarkan lekuk tubuh pemakainya. Ada bagian "kikiek" yang merupakan pelindung ketiak agar tidak terlihat.
"Baju kuruang basiba dulu dipakai untuk kegiatan sehari-hari, tapi sekarang dikenakan di acara tertentu. Sekarang, kami ingin menggerakkan lagi memakai baju kuruang basiba," ungkap Liza.
Baju kuruang basiba biasanya dipadukan dengan kain songket sebagai bawahan, selendang yang disampirkan di bahu, serta penutup kepala yang disebut "tikuluak tanduak". Penutup kepala itu merupakan selendang panjang yang dikreasikan menyerupai tanduk dengan dua sisi kiri dan kanan berbentuk lancip seperti tanduk kerbau. Model "tikuluak tanduak" bisa bervariasi sesuai daerah asal pemakainya.
Liza mengatakan baju kuruang basiba bisa dikenakan perempuan usia berapa saja. Selain pakem terkait bentuknya, tidak ada aturan khusus terkait warna busana. Berbagai ornamen motif pun tidak terikat ketentuan adat.
Memang ada warna khas Minang, yakni merah, kuning, dan hitam, tetapi baju kuruang basiba bisa pula mengaplikasikan warna-warna lain. Begitu pun aksesori pelengkap bisa ditambahkan, seperti kalung atau gelang.
Bukan sekadar busana, perempuan Minang yang mengenakan baju kuruang basiba diibaratkan mengemban "tanggung jawab" tersendiri. Saat mengenakannya, perempuan Minang harus santun dan menjaga martabatnya. Salah satunya, tidak boleh berlenggak-lenggok berlebihan atau tindak-tanduk yang tak sesuai dengan ajaran agama.
Menurut Liza, itu selaras dengan falsafah budaya Minang yakni "adat basandi sarak, sarak basandi Kitabullah". Maknanya, menjadikan Islam sebagai landasan utama nilai-nilai kehidupan dan bertingkah laku.
Dalam budaya Minangkabau, perempuan Minang digambarkan sebagai sosok yang tangguh, bijaksana, sekaligus lembut. Untuk menggambarkan itu, Liza mengutip pepatah Minang yang berbunyi "Alu tataruang patah tigo, samuik tapijak indak mati".