REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu ciri dari serangan strok adalah terjadi secara tiba-tiba. Meski begitu, tanda peringatan strok ternyata bisa muncul sekitar 10 tahun lebih awal.
Mengacu pada Centers for Disease Control and Prevention (CDC), strok atau serangan otak adalah kondisi yang terjadi ketika aliran darah ke bagian tertentu otak terhambat. Hambatan ini bisa disebabkan oleh adanya sumbatan di dalam pembuluh darah otak atau oleh pecahnya pembuluh darah otak.
Ketika serangan strok terjadi, beberapa gejala bisa muncul secara tiba-tiba. Menurut Kementerian Kesehatan RI, gejala strok adalah senyum tidak simetris, gerak separuh anggota tubuh melemah, tiba-tiba sulit bicara, atau ucapan sulit dimengerti.
Selain gejala yang muncul saat serangan, beberapa tanda peringatan juga bisa muncul jauh sebelum strok terjadi. Hal ini diungkapkan oleh sebuah studi dalam Journal of Neurology Neurosurgery and Psychiatry.
Menurut studi, beberapa tanda yang muncul jauh sebelum serangan strok terjadi adalah penurunan fungsi kognitif yang lebih cepat dan masalah untuk berfungsi dalam keseharian. Tanda-tanda ini biasanya muncul sekitar satu dekade sebelum serangan strok pertama terjadi.
Hal ini diketahui setelah tim peneliti menganalisis data dari 14.712 partisipan dalam studi berbasis populasi, Rotterdam Study. Selama studi berlangsung, tim peneliti menginvestigasi kemampuan para partisipan dalam menjalani keseharian, seperti mencuci, makan, atau berpakaian. Tim peneliti juga memantau kemampuan para partisipan dalam menjalani aktivitas yang lebih rumit, seperti mengelola keuangan.
Tim peneliti lalu memantau kasus strok yang terjadi di antara partisipan selama periode 1990-2018. Dari pemantauan inilah, tim peneliti menemukan bahwa penurunan fungsi kognitif dan masalah fungsi dalam keseharian bisa terjadi sekitar 10 tahun sebelum serangan strok.
Selain itu, tim peneliti menemukan bahwa individu yang memiliki gen APOE juga lebih berisiko mengalami strok. Gen APOE merupakan gen yang sebelumnya diketahui berhubungan dengan penyakit Alzheimer. Kondisi lain yang juga tampak meningkatkan risiko strok adalah kualifikasi akademis yang lebih rendah.
"Individu dengan penurunan kognitif dan fungsi memiliki risiko lebih tinggi terhadap strok dan merupakan kandidat yang cocok untuk menjalani percobaan pencegahan," ungkap tim peneliti.