REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Guru besar ilmu pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Syamsu Yusuf LN menilai, pentingnya program bimbingan dan konseling di sekolah. Hal ini, harus dilakukan untuk meminimalisasi gangguan mental pada pelajar.
Syamsu mengatakan, gangguan mental pada pelajar menyebabkan perilaku buruk seperti tawuran, seks bebas, narkoba, dan lainnya.
"Perlu lebih diperkokoh peranan program bimbingan dan konseling di sekolah, melalui regulasi yang jelas dari pihak pengambil kebijakan atau pemerintah," ujar Syamsu pada pengukuhan Guru Besar di Kampus UPI, Rabu petang (19/10).
Selain itu, kata dia, perlu juga adanya komitmen dari berbagai pihak untuk secara sinergi atau kolaborasi dalam mengimplementasikan program konseling ini.
Menurut Syamsu, penyelenggaraan program bimbingan dan konseling nantinya bisa dilakukan oleh konselor atau guru bimbingan dan konseling. Sementara strategi layanannya adalah bimbingan dalam skala besar (large group guidance), bimbingan klasikal (class room guidance), bimbingan kelompok (small group guidance), konseling individual, dan konseling kelompok.
Syamsu mengatakan, kehidupan umat manusia saat ini dihadapkan dengan berbagai masalah atau tantangan yang semakin kompleks, yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti masalah sosial, ekonomi dan lingkungan hidup.
"Dampak negatif era globalisasi yang terjadi di abad 21 ini telah memicu lahirnya berbagai problema kehidupan manusia, baik secara personal maupun sosial," katanya.
Kondisi lingkungan tersebut, kata dia, sangat memengaruhi perkembangan pola perilaku atau gaya hidup (life style) peserta didik (khususnya yang berusia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlaq yang mulia) Seperti pelanggaran tata tertib sekolah, tawuran, mengonsumsi minuman keras, menjadi pecandu Narkoba, kriminalitas, bullying, pergaulan bebas (free sex), dan prostitusi. Pengaruh lainnya adalah berkembangnya mental yang tidak sehat, seperti perasaan cemas, stress, dan perasaan terasing.
Fenomena masalah mental yang tidak sehat ini, kata dia, banyak dialami oleh peserta didik, baik pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidikan tinggi. "Maraknya perilaku menyimpang di kalangan para siswa atau mahasiswa saat ini, menunjukkan bahwa mereka masih lemah dalam aspek kepribadian atau dimensi psiko sosio spiritualnya," katanya.
Kondisi ini, kata dia, menunjukkan pula bahwa mereka membutuhkan sentuhan pendidikan yang dapat memfasilitasi berkembangnya kepribadian atau karakter yang mantap. Sehingga, mereka dapat mencegah terjadinya penyimpangan perilaku tersebut.
"Sentuhan pendidikan tersebut adalah layanan bimbingan dan konseling," ucapnya.
Sementara menurut Rektor Universitas Pendidikan Indonesia, M Solehuddin, pihaknya terus mendorong pada dosen agar menjadi guru besar. Hal itu penting untuk menyerap pemikiran mereka untuk masyarakat. Saat ini, jumlah guru besar di UPI sekitar 120 orang atau 10 persen dari total dosen.
"Target kami di 12 persen, tapi memang beratnya ada yang pensiun meninggal dan prodi baru. Sehingga dosen baru nambah. Jadi, walaupun guru besar meningkat, persentase guru besar juga kurang, " katanya.
Selain mengukuhkan Syamsu Yusuf LN, UPI juga mengukuhkan dua guru besar lainnya yaitu Cece Rakhmat dan Nenden Sri Lengkanawati.
Solehuddin mengatakan, di era digitalisasi dan knowledge economy ini, tengah terjadi sebuah pergeseran nilai (shifting values) yang semakin mewarnai perubahan dalam sistem ekonomi dunia dan tentunya Indonesia. Sebagai bagian integral dari sistem ekonomi, UPI semakin dituntut untuk mengikuti arah shifting values tersebut, agar semakin berperan signifikan dalam membangun knowledge economy.
"Shifting values inilah yang akan menjadi tantangan bagi UPI untuk berkembang mengikuti zaman yang berubah sehingga menjadi universitas yang paling tinggi nilai dan manfaatnya di mata masyarakat dan bangsa, " katanya.