REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter spesialis penyakit dalam dari RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung, dr Rudi Wisaksana SpPD-KPTI PhD, mengajak masyarakat agar tidak takut melakukan tes HIV guna mencegah terjadinya AIDS dan menekan laju penularan. Ia mengatakan, ada dua kondisi yang mengharuskan seseorang segera melakukan tes HIV, yaitu jika mengalami gejala dan melakukan perilaku yang berisiko HIV.
"Kalau ada indikasi penyakit infeksi oportunistik, misalnya toksoplasmosis di otak, jamur di mulut, atau yang lain, tentu dokter akan menganjurkan tes HIV. Dan juga perilaku, karena sebelum muncul gejala tadi sebenarnya perilakunya sudah berlangsung cukup lama," katanyadalam bincang-bincang kesehatan yang digelar daring dan diikuti di Jakarta, Senin (28/11/2022).
Adapun perilaku yang dimaksud, kata dia, di antaranya pekerja seks, memiliki pasangan seks yang banyak, berhubungan seks tanpa kondom dengan pasangan yang berisiko, dan menggunakan narkoba suntik. "Pada orang-orang itu, walaupun tidak ada gejala kita harus tes, karena kita ingin jangan sampai dia menjadi AIDS dan mencegah penularan kepada orang-orang di sekitarnya," katanya.
Ia menjelaskan, ada beberapa jenis tes HIV yang bisa dilakukan, di antaranya tes serologi, tes PCR, tes antibodi, dan tes antigen. Adapun tes yang paling akurat, menurut dia, adalah PCR dengan sampel darah. Namun, jika takut dengan jarum suntik, maka tes antibodi dengan sampel mukosa mulut dapat menjadi alternatif.
"Jadi buat yang takut melihat darah atau takut ambil darah, bisa pakai mukosa dari mulut. Kalau positif tentu harus dilanjutkan (pemeriksaannya), jadi ini bukan pemeriksaan yang sangat spesifik tapi cukup sensitif untuk mengetahui kira-kira kita terinfeksi atau tidak," katanya.
Ia menambahkan, tes HIV dapat dilakukan dua pekanu hingga satu bulan setelah melakukan aktivitas yang berisiko menjadi pintu penularan. Sebab, pada waktu tersebut tubuh dianggap sudah membentuk antibodi yang cukup agar bisa dideteksi. Jika tes HIV dilakukan terlalu cepat, kata dia,hasil tes bisa saja menunjukkan negatif palsu karena antibodi masih terlalu rendah sehingga belum dapat terdeteksi.
"Jadi kalau saya tahu bahwa saya penularannya kemungkinan dalam waktu dekat, tesnya juga terlalu cepat misalnya baru 1-2 hari sudah tes, sebaiknya saya mengulang sampai periode jendela (masa masuknya virus hingga tubuh membentuk antibodi) terlewati," katanya.
Ia menambahkan bahwa selain melakukan tes, seseorang juga harus berusaha untuk tidak melakukan aktivitas yang berisiko HIV. Jika tidak, maka dia harus mengulang tes setiap enam bulan sekali.
"Idealnya enam bulan, kalau tidak ya setiap tahun, selama dia berisiko. Supaya cepat, jadi begitu ketahuan (positif HIV) langsung diobati. Tujuannya untuk mencegah penularan dan mencegah supaya tidak terjadi AIDS," kata Rudi.