REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pendidikan, Doni Koesoema menyarankan pemerintah tidak melakukan Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) dalam waktu dekat. Sebab, sesaat lagi Indonesia akan memasuki tahun politik menjelang digelarnya pemilihan umum (Pemilu) 2024.
"Saya punya ide yang cemerlang bagi pemerintah agar lebih baik saat ini. Pemerintah tidak melakukan perubahan UU Sisdiknas, apalagi di masa politik, di tahun-tahun politik," ujar Doni melalui video dikirimkan kepada Republika.co.id, Selasa (6/12/2022).
Doni berpendapat, apabila RUU Sisdiknas dipaksakan untuk dibahas dan kemudian disahkan, maka hasilnya bisa tidak maksimal. Perubahan yang ada di dalam RUU Sisdiknas nantinya dikhawatirkan tidak akan mendalam dan komprehensif sesuai dengan tantangan dan kebutuhan dunia pendidikan ke depan.
"Akan merugikan pendidikan kita di masa depan," kata Doni.
Dia menambahkan, jika kemudian pembahasan RUU Sisdiknas tidak jadi dilanjutkan, maka pemerintah dapat kembali membuka dialog terhadap berbagai pihak yang selama ini terlewat. Dengan begitu, setelah tahun politik berlalu, Indonesia memiliki rancangan dari RUU Sisdiknas yang komprehensif.
"Lebih baik selama dua tahun ini, sampai setelah Pemilu terjadi, lebih baik pemerintah fokus berdialog dengan publik, membangun wacana, diskursus, dan dialog dengan publik. Sehingga UU Sisdiknas bisa direvisi dengan lebih baik, dan itu akan kita lakukan setelah Pemilihan Presiden 2024," kata dia.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim pada Rabu (28/9/2022), menyayangkan tidak masuknya RUU Sisdiknas ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Perubahan 2022. Dia mengaku sangat berharap RUU Sisdiknas bisa lolos agar paling tidak pada 2023 bisa disahkan menjadi UU.
"Sudah delapan bulan, bahkan hampir satu tahun kita sudah mulai proses ini dan benar-benar harapan kita terkejar di 2022. Agar di 2023 bisa gol,\" ujar Nadiem dalam Rapat Kerja dengan Komite III DPD.
Tapi, dia mengakui, harapan tersebut kini kian menipis. Di tahun 2023 sekalipun, kata dia, RUU Sisdiknas sepertinya belum tentu lolos ke dalam Prolegnas Prioritas. Dia menyadari, tahun tersebut sudah mulai memasuki tahun politik dan lain-lain. Dia merasa harus realistis melihat kesempatan yang ada.
"Tapi sekarang yang tercepat 2023 belum tentu itu akan bisa kita loloskan karena memang tahun politik dan lain-lain. Saya harus realistis," tutur Nadiem.
Di sisi lain, Nadiem menyebut gurulah yang menjadi korban dari gagalnya RUU Sisdiknas masuk ke dalam Prolegnas Prioritas. Menurut dia, ada 1,6 juta guru yang menunggu sertifikasi pendidikan profesi guru (PPG) yang belum bisa meningkatkan kesejahteraannya karena antrean yang amat panjang.
Dia mengatakan, jika RUU Sisdiknas sah menjadi UU, maka para guru tidak perlu mengantongi sertifikat PPG untuk mendapat tunjangan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Kini, kata Nadiem, mereka masih harus menunggu kepastian kapan akan menerima Tunjangan Profesi Guru (TPG).
"PPG itu akan makan waktu 20 tahun untuk selesai, semua sudah keburu pensiun kalau begitu, ini cukup ironis," jelas Nadiem.
Nadiem juga mengungkapkan, saat ini masih ada mispresepsi atas hilangnya TPG dalam RUU Sisdiknas. Menurut dia, masih ada kekhawatiran hilangnya tunjangan untuk guru lewat UU ASN dan UU Ketenagakerjaan.
"Di mana keliatannya seperti menghilangkan itu, sebenarnya aspirasi menghilangkan TPG adalah utk mengembalikan guru-guru kita ke dalam UU ASN, dan UU Ketenagakerjaan," kata dia.