REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Anggota Satu Pena dan Jurnalis Republika
Bila seorang ulama (cendikia) wafat, maka khazanah ilmu pada hakikatnya berkurang! Nasihat kaum salaf itu ada dan tepat bila salah satunya disematkan pada sosok Prof DR Azyumardi Azra. Koleganya memanggilnya dengan sebutan prof, abang, hingga Edy, atau bahkan memanggilnya dengan menyebut salah satu namanya, yakni Azra atau Azyumardy. Baginya adanya panggilan yang beragam itu tak menjadi soal. Lapang dada.
Adanya eksistensi keilmuan luar bisa itulah forum penulis Indonesia yang tergabung dalam organisasi Satu Pena menerbitkan buku khusus mengenai sosok Prof Azra yang wafat beberapa bulan silam kala tengah berkunjung ke negara jiran Malaysia.
Buku itu berjudul l "Azyumardi Azra: Sang Intelektual Organik Yang Rendah Hati". Para penulisnya adalah 31 anggota Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) yang merupakan sebuah organisasi sekaligus penerbit buku.
Para penulis yang menggambarkan sosok Azra dalam tulisan di buku ini, di antaranya merupakan pengurus Satupena, dosen, sastrawan, novelis, pegiat literasi, hingga mantan pejabat negara. Maka tema penulisan pun menjadi beragam, tergantung dari sisi sebelah mana mereka mengenalnya.
Namun, bagi kalangan keilmuan Islam, tataran Azra memang sudah paripurna. Cendikiawan par excelence. Sosok pengaruhnya bisa disejajarkan dengan mendiang pakar sejarah Sartono Kartodirjo. Bedanya Sartono mengkaji masalah sejarah umum, Azra terfokus pada sejarah dan pemikiran Islam.
Pada zaman lalu, hasil penelitian Sartono menjadi bahan baru cara penulisan sejarah Indonesia agar tidak terfokus pada kisah orang besar belaka --sejarah diciptakan oleh orang besar (pemimpin)-- namun sejarah harus juga menceritakan keadaan rakyat kecil keseharian. Kenyataan dalam penulsian sejarah inilah yang kemudian direkonstruksi Sartono melalui disertasinya di Universitas Leiden mengenai pemberontakan rakyat petani di Banten yang pecah pada tahun 1888.
Sama halnya dengan Sartono, Azra pun melakukan hal yang sama. Hal tersebut dia lakukan melalui penelitian penulisan disertasi doktornya di Univeritas Columbia mengenai jaringan ulama Indonesia yang ternyata tersebar sangat luas atau berjejaring internasional. Azra di situ membantah teori klasik mengenai kedatangan Islam ke Indonesia hasil pemikiran orientalis Snouck Hurgronje bahwa Islam datang dari Gujarat (Teori India). Kemudian juga ada teori mengenai kedatangan Islam yang datang lebih belakangan dan disebarkan atas hasil kajian lembaga intelejen Belanda pada tahun 1920-an, bahwa Islam itu datang ke Indonesia dari China (Teori China). Teori yang terakhir ini sangat dipercaya, misalnya oleh dua sosok mendiang presiden, yakni Gus Dur dan BJ Habibie. Bahkan Gus Dur menisbatkan nasabnya bila dirinya punya darah Tionghoa.
Dua teori inilah yang kemudian dibantah secara telak oleh Azyumardi melalui disertasinya. Dari kajiannya Islam itu datang langsung dari tanah Arabia (Teori Arab). Bukan 'melancong' dulu ke India dan ke China. Bukti ini dia tunjukan melalui penggunaan kata 'sila' (menumpangkan kedua kaki ke depan tubuh kala duduk) dalam karya tua sebuah naskah Persia abab ke-7 Masehi. Adanya kata dalam naskah kuno tersebut adalah ketika menceritakan cara duduk pribumi ketika para pedagang dari Persia ketika menghadap sebuah penguasa di Sumatra. Adanya kata 'sila' itu menjadi pertanda bahwa orang Persia yang saat itu sudah menjadi Muslim sudah sampai ke sebuah kerajaaan di Sumatra.
Hasil penelitian Azra mengenai kedatangan Islam langsung dari wilayah Arabia, juga menguatkan pendapat Buya Hamka pada seminar kedatangan Islam di Indonesia pada awal 1970-an. Sama halnya dengan Azra, Hamka juga membantah teori kedatangan Islam dari Gujarat yang diajarkan secara meluas melalui pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, walau itu sebenarnya merupakan hasil kajian Snouk Hurgronje.
Pada masa kini, pendapat Hamka dan Azra dikuatkan lagi dengan ditemukannya ratusan 'uang emas dan perak' (dinar dan dirham) di sebuah kampung di pedalaman pantai barat Sumatra, yakni di sekitar wilayah Barus. Kedua jenis uang yang tertimbun di dalam tanah sedalam empat meter di kampung Jago-jago itu membuktikan dengan gamblang adanya hubungan intens antara wilayah Indonesia dengan sebuah kekuasaan yang kala itu eksis di kawasan yang kini disebut dengan Timur Tengah. Temuan uang itu berasal dari kekuasan Islam yang saat itu menguasai wilayah di seantero semenanjung Arabia. Uang itu bergambar lambang kesultanan Islam dengan angka tahun dari abad ke 7-Masehi.
Maka, di situlah kekuatan eksistensi keulamaan Azyumardi Azra. Atas jasanya, di dunia internasional Azra menjadi sosok cendikiawan yang disegani. Ratu Inggris memberikan gelar kebangsawanan yang lazim memakai sebutan 'Sir' kepadanya. Atas dasar itu Azra mempunyai hak ketika meninggal di makamkan di Inggris dan bebas ke luar masuk serta tinggal di Inggris tanpa visa.
Bagi Republika, wafatnya Prof Azra jelas merupakan kehilangan besar. Apalagi sudah lebih dari dua dekade dia secara rutin menuliskan pemikirannya dalam bentuk kolom secara rutin dalam setiap minggu pada hari kamis. Ini jelas merupakan sikap konsistensi yang genuine.
Selamat jalan Prof Azra. Namamu abadi...!