REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa peredaran narkoba, Irjen Teddy Minahasa, dituntut pidana mati. Mantan Kapolda Sumatra Barat itu dinilai telah terbukti tidak berhak dan tidak wewenang mengedarkan lima kilogram sabu dari Sumatra Barat ke Jakarta.
Anggota Komisi III DPR RI, Adde Rosi Khoerunnisa mengatakan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tentu sudah memiliki alasan yang sangat kuat secara yuridis. Hal itu yang membuat mereka yakin untuk meminta agar terdakwa sampai dituntut hukuman mati.
"Apalagi, hingga delapan alasan pertimbangan tuntutan yang memberatkan, dan itu merupakan kewenangan penuh Kejaksaan," kata Adde kepada Republika, Jumat (31/3/2023).
Bagi Komisi III DPR RI, lanjut Adde, tentu kasus ini harus menjadi pembelajaran bersama bagi semua aparat penegak hukum. Artinya, tidak hanya bagi mereka yang ada di Polri, tapi juga aparat-aparat yang ada di Kejaksaan maupun di Kehakiman.
"Hati-hati dengan narkoba," ujar Adde.
Politikus Partai Golkar ini menekankan, di Polri sendiri sudah jelas dan tegas ada instruksi Kapolri ST/331/II/Huk.7.1./2021. Berisikan tentang larangan bagi anggota-anggota Polri yang terlibat narkoba dengan sanksi yang jelas dan tegas.
"Yaitu, dipecat dan dipidana semaksimal mungkin," kata Adde.
Maka itu, Adde menambahkan, akan terus mendukung upaya-upaya Kapolri dalam memberantas peredaran gelap narkoba. Yang mana, berlaku pula bagi anggota Polri yang terlibat, demi menjaga reputasi institusi Polri di mata publik.
"Sekaligus menyelamatkan generasi penerus bangsa," ujar Adde.
Sebelumnya, JPU meminta majelis hakim mengadili Teddy melakukan tindak pidana Pasal 114 Ayat (2) UU 35 Nomor 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Hal itu disampaikan saat membacakan amar tuntutan di PN Jakarta Barat.
JPU menyampaikan delapan poin yang memberatkan tuntutan Teddy. Antara lain Teddy ikut menikmati keuntungan penjualan sabu, perilakunya mencoreng nama baik Polri, merusak kepercayaan publik, dan mengkhianati presiden dalam penegakan hukum.