REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi X DPR RI Ratih Megasari Singkarru meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengkaji ulang wacana perekrutan guru dengan model marketplace alias lokapasar. Mekanisme itu, menurut dia, harus mempertimbangkan potensi kendala serta risiko dari berbagai sudut pandang stakeholder terkait.
“Dari namanya saja, marketplace, kita sudah merasa bahwa ini tidak pantas karena seakan-akan menjadikan guru itu sebagai sebuah komoditi yang semuanya bergantung pada mekanisme pasar," ujar Ratih lewat keterangannya, Kamis (15/6/2023).
Padahal, kata dia, negara sudah mempunyai mekanisme melalui Badan Kepegawaian Negara (BKN) atau Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang bisa diberdayakan untuk mengisi kekosongan guru di Indonesia. Jika kendalanya adalah perekrutan yang hanya setahun sekali, dia berharap pemerintah memperbaiki arus informasi antara kebutuhan sekolah dan badan kepegawaian sehingga perekrutan serta penempatan guru dapat dilaksanakan dengan lebih fleksibel.
"Dengan demikian, begitu ada guru pindah atau pensiun yang posisinya menjadi kosong, badan tersebut bisa langsung melakukan redistribusi atau menempatkan guru," jelas dia.
Ratih mengaku memahami mekanisme perekrutan melalui lokapasar berfungsi untuk memangkas birokrasi seleksi guru. Akan tetapi, menurut dia, baru dalam tingkat gagasan saja, kendala dan risiko banyak muncul di benak para guru. Karena itu, dia menilai, perlu dipertimbangkan kewenangan perekrutan guru melalui lokapasar itu benar-benar ada di tangan kepala sekolah atau tidak.
“Bagaimana risiko terjadinya nepotisme, atau bahkan pungli terkait hal tersebut," ungkap Ratih.
Tidak hanya itu, dia khawatir hadirnya lokapasar akan melahirkan persaingan tidak sehat dan tidak berkeadilan antar sekolah maupun antarguru. Mekanisme pasar akan membuat sekolah yang memiliki anggaran besar akan dapat dengan leluasa memilih guru, namun tidak dengan sekolah dengan anggaran kecil.
Sebab itu, ia meminta pemerintah agar lebih peka dengan kondisi di lapangan. Masih banyak guru di Indonesia yang memiliki tantangan untuk mengakses beragam platform digital pemerintah. Bahkan, tidak semua guru terutama di daerah terpencil memiliki perangkat teknologi seperti gawai atau laptop.
Lebih lanjut, politikus fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu menekankan, kesejahteraan guru honorer, persebaran guru, hingga perekrutan guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK perlu diselesaikan secara tuntas terlebih dahulu oleh Kemendikbudristek. Jika tidak, maka akan menjadi polemik yang berkepanjangan di dunia pendidikan.
Masalah lain yang perlu diselesaikan terlebih dulu adalah nasib guru honorer prioritas satu atau P1 yang berjumlah sekitar 64 ribu. Mereka harus diprioritaskan terlebih dulu oleh pemerintah untuk segera dituntaskan dan mendapatkan kepastian.
"Kami yakin mereka tidak ingin persoalan P1 menjadi tenggelam dengan munculnya program baru seperti marketplace yang akan diluncurkan dalam waktu cepat dan terkesan sangat terburu-buru atau memaksakan," kata dia.