Selasa 01 Aug 2023 15:34 WIB

Demam Barbie dan Budaya Populer Global

Barbie melahirkan kelompok penggemar yang tidak pernah lelah.

Salah satu adegan di film Barbie (2023).
Foto: Dok Warner Bros. Pictures
Salah satu adegan di film Barbie (2023).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rahma Sugihartati, Guru Besar Sains Informasi FISIP Universitas Airlangga

Sejak film Barbie diputar di berbagai gedung bioskop pada 19 Juli 2023, seketika itu pula demam Barbie kembali melanda masyarakat, khususnya kelompok anak muda urban. Di mal dan gedung bioskop busana yang didominasi warga merah muda dan pernak-pernik khas Barbie muncul di mana-mana. Anak muda sengaja berpakaian dan memadupadankan warna merah muda untuk merayakan budaya popular global yang digemarinya: Barbie.

Baca Juga

Barbie adalah sosok boneka perempuan muda yang mulai diperkenalkan di American Toy Fair di New York City pada 1959. Barbie adalah boneka mainan pertama yang diproduksi secara masal. Boneka ini punya ciri khas, yakni sosok perempuan tinggi langsing rambut pirang, mengenakan pakaian modis, dan kaki yang berjinjit karena mengenakan sepatu high-heels.

Hampir di seluruh penjuru dunia, banyak anak muda urban merayakan diputarnya kembali film Barbie. Boneka perempuan muda cantik bermata lentik, berkaki jenjang, memiliki pinggang yang ramping dengan payu dada yang membusung besar, dengan pernak-pernik asesoris mewah, semuanya membangun konstruksi tentang bagaimana anak muda urban harus mendefinisikan dirinya.

Lebih dari sekadar boneka atau film, Barbie adalah sebuah ikon global yang mampu menghipnotis penggemarnya. Ia adalah bagian dan budaya popular global yang memiliki penggemar fanatik tersendiri.

Ikon Global

Barbie bukanlah sekadar boneka mainan biasa. Barbie yang mampu bertahan hingga enam dekade lebih, tentu tidak sekadar mengandalkan pada bentuk fisiknya yang menarik dengan warna merah muda cerah yang mempesona. Barbie adalah simbol dari budaya popular global yang mampu bertahan karena memiliki kekuatan magis menghipnotis penggemarnya yang selalu loyal. Meski jaman berubah, dan lahir anak-anak yang merupakan bagian dari generasi internet, pesona Barbie tak juga mati.

Kahn dan Kellner (2008) menyatakan budaya anak muda urban dewasa ini merupakan kompleksitas budaya yang timbul akibat proliferasi media dengan produk industri budaya populer dalam kehidupan sehari-hari mereka, seperti film, televisi, musik dan novel populer yang difasilitasi internet. Kehidupan anak muda urban yang tidak bisa lepas dari internet dan media sosial menjadi pendorong pengembangan lebih lanjut di bawah kerangka kerja institusional dari jaringan dunia yang makin menglobal. Berbagai industri budaya yang mengembangkan website untuk anak muda telah menciptakan semacam “peliharaan virtual" yang senantiasa dirawat oleh anak muda, yang konsekuensi berikutnya telah memunculkan budaya anak muda online, global, hybrid dan kompleks.

Menurut Jenkins, ada tiga ciri utama yang menandai moda pemberian makna budaya penggemar dalam teks-teks media yang dikonsumsinya: cara penggemar menarik teks mendekati ranah pengalaman hidup mereka; peran yang dimainkan melalui pembacaan kembali teks dalam budaya penggemar; dan proses yang dengannya informasi program dimasukkan kedalam interaksi sosial yang terus-menerus (Storey, 2007).

Pertama, pembacaan penggemar dicirikan oleh sebuah intensitas keterlibatan intelektual dan emosional. Dengan menentang determinisme tekstual, Jenkins menegaskan penggembar budaya popular global tidak ditarik ke dalam dunia fiksi yang belum ditetapkan, tetapi sebaliknya ditarik ke dalam suatu dunia yang telah dia ciptakan dari materi-materi tekstual.

Pembaca awam membaca dalam konteks kepentingan minat, sedangkan penggemar membaca dari ranah “pengalaman hidup” kelompok penggemar. Kedua, penggemar tidak sekadar membaca teks, mereka senantiasa membaca kembali teks-teks itu. Ini mengubah hakikat hubungan teks-pembaca secara mendasar. Roland Barthes (1975) berpendapat pembacaan kembali atas teks-teks mengubah pengalaman pembaca mengenai suatu teks.

Pembacaan kembali meruntuhkan operasi “kode hermeneutik”. Pembacaan kembali dengan begitu menggeser perhatian pembaca dari “apa yang akan terjadi” menuju “bagaimana sesuatu itu terjadi”, mempertanyakan hubungan antar tokoh, tema narasi, produksi pengetahuan dan wacana sosial.

Ketiga, sementara kebanyakan pembacaan adalah suatu proses soliter, yang dilakukan secara pribadi, para penggemar mengkonsumsi teks-teks sebagai bagian dari suatu komunitas.

Budaya penggemar berkaitan dengan penampilan publik dan sirkulasi produksi makna dan praktik-praktik pembacaan. Para penggemar menciptakan makna-makna untuk berkomunikasi dengan para penggemar lain. Tanpa penampilan publik dan sirkulasi makna-makna ini, kelompok penggemar tidak akan menjadi penggemar.

Bagi sesama penggemar Barbie, mereka menikmati budaya populer global yang disukainya tidak sendirian. Mereka makin keranjingan dan kecanduan akan produk pop culture karena mereka dipengaruhi dan saling mempengaruhi di antara sesama penggemar yang lain.

Datang rame-rame ke sebuah acara untuk sama-sama merayakan apa yang digemarinya adalah kegembiraan tersendiri. Inilah yang membuat mengapa Barbie akhirnya melahirkan kelompok penggemar yang tidak pernah lelah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement