REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mendukung dibolehkannya kampanye di lembaga pendidikan, seperti kampus atau perguruan tinggi. Hal tersebut sudah diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023 Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Menurutnya, pendidikan dan keterlibatan terhadap politik perlu disosialisasikan kepada anak muda Indonesia. Namun, ia mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuat aturan yang lebih detail terkait pelaksanaan kampanye di lembaga pendidikan.
"Saya kira KPU menurunkan itu menjadi aturan yang lebih detail, yang sifatnya tidak malah menjadi momentum destruktif, tapi betul-betul menjadi momentum yang positif untuk menjadikan anak-anak muda kita mengerti politik sejak dari awal, sejak dari dini," ujar Huda di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Aturan tersebut diperlukan, karena perlunya pengawasan yang lebih detail terkait kampanye di sekolah-sekolah. Sebab, tak mungkin melakukan kampanye kepada siswa yang notabenenya banyak dari mereka belum memiliki hak pilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
"Kalau di level sekolah mungkin sifatnya lebih pada laboratorium awal politik gagasan. Jadi, jangan sampai saya belum setuju kalau misalnya para politisi, para caleg, sekolah bikin mimbar seperti di kampus, saya belum kebayang saya, karena tingkat pemahamannya juga berbeda," kata Huda.
Menurutnya, salah satu dampak negatif Orde Baru adalah menjauhnya anak-anak muda Indonesia dari dunia politik. Dampak besarnya adalah pendidikan politik yang terhambat dan diizinkannya kampanye di lembaga pendidikan menjadi momentum yang tepat.
"Kampus saya setuju menjadi mimbar bebas bagi semua politisi untuk beradu gagasan di sana. Saya membayangkan kampus memberi ruang mimbar demokrasi, bisa melalui perwakilan partai masing-masing atau bahkan individu dapat beradu argumen di kampus," ujar Huda.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan larangan kampanye politik di tempat ibadah dan fasilitas pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Perkara 65/PUU-XXI/2023 itu diketahui digugat oleh Handrey Mantiri dan Ong Yenni.
Handrey Mantiri (Pemohon I) adalah warga negara sekaligus merangkap sebagai pemilih. Sedangkan, Ong Yenni (Pemohon II) adalah warga negara yang menjadi calon anggota legislatif dari PDIP.
MK dalam amar putusan tersebut menyatakan penjelasan Pasal 280 Ayat (1) huruf h UU Pemilu sepanjang frasa ”fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, MK menyatakan Pasal 280 Ayat (1) huruf h UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “mengecualikan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.