Sabtu 27 Jan 2024 20:29 WIB

Food Estate dan Esensi Ketahanan Pangan Menurut Islam 

Ketahanan pangan dalam Islam berpaku pada cocok tanam

Lahan Food Estate pertanaman jagung di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (ilustrasi).
Foto: Kementan
Lahan Food Estate pertanaman jagung di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (ilustrasi).

Oleh : M Nashih Nashrullah, wartawan Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Polemik Food Estate mengemuka dalam debat Cawapres pada Ahad (21/1/2024) lalu. Terlepas dari deretan kontroversi yang muncul, program yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, ini pada dasarnya, mempunyai semangat yang bagus.

Ketahanan pangan. Pencanangannya sebagai proyek strategis nasional pun, sempat memberikan angin segar, di tengah fakta impor pangan yang  ugal-ugalan dan menyusutnya lahan pertanian di Tanah Air. 

Baca Juga

Penulis, tergelitik untuk menggali konsepsi Islam soal ketahanan pangan, yang landasan utamanya, tak lain adalah bercocok tanam. Sebuah kitab klasik besutan  Abu Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Umar al-Habasyi al-Wishabi yang berjudul al-Harakah fi Fadhli as-Sa'yi wa al-Harakah, mencoba menguraikan tentang urgensi bercocok tanam dan perhatian Islam dalam pengelohan hasil bumi dari berkebun dan bertani.

Ulama yang wafat pada 782 H itu menegaskan bahwa secara garis besar, ada tiga profesi utama yaitu bercocok tanam, industri, dan perdagangan. Mengutip perkataan Imam al-Mawardi, bercocok tanam adalah profesi paling terhormat.

Ini lantaran pekerjaan tersebut menuntut dedikasi yang tinggi dan sikap tawakal penuh terhadap Allah SWT. Al-Mawardi pun menukilkan sebuah hadis, tentang keutamaan bertawakal. “Orang yang bertawakal akan masuk surga tanpa hisab,” sabda Rasulullah SAW di hadits itu.

Imam an-Nawawi menambahkan, pekerjaan ini diposisikan terhormat karena memberikan manfaat yang sangat banyak bagi kelangsungan hidup manusia. Bahkan, faedah bercocok tanam tidak hanya terbatas untuk manusia, akan tetapi juga berguna bagi makhluk hidup lainnya. Binatang-binatang yang hidup di bumi, juga merasakan dampak dari bercocok tanam, seperti sapi, kerbau, kuda, ataupun burung. 

Al-Wishabi menegaskan, hukum bertani adalah fardhu kifayah. Kewajiban tersebut gugur jika telah dilaksanakan oleh sekelompok orang. Bila tak ada satu pun pihak yang melaksanakan tuntutan ini, maka sanksi dosa akan ditujukan ke semua orang. Penempatan profesi ini dalam kategori fardhu kifayah, sebab urgensi dan ketergantungan segenap umat manusia terhadap hasil bercocok tanam.

Kedua imam terkemuka, yakni Imam al-Haramain dan an-Nawawi menyatakan, ada kalanya fardhu kifayah bisa lebih utama ketimbang fardhu a'in. Karena, tanggungan fardhu kifayah bila tak terpenuhi oleh satu pun orang, dosanya akan dipikul secara kolektif. Berbeda dengan fardhu ain, yang seandainya tak dikerjakan dampak hukumnya kembali ke individu saja.

Bercocok tanam, sangat terpandang dalam Islam, demikian ungkap al-Wishabi. Keutamaan bertani ataupun bercocok tanam, diabadikan baik dalam ayat Alquran ataupun sabda Rasul.

Melalui profesi ini, ungkap al-Wishabi, maka akan terang benderang tentang  kekuasaan Allah SWT. Dia mendeklarasikan sebagai satu-satunya pencipta yang menguasai unsur air, mengubahnya menjadi air hujan lalu menurunkannya ke bumi, untuk menghidupi berbagai macam tanaman yang dipergunakan bagi kelangsungan makhluk hidup.

“Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak.” (QS al-An'am [6]: 99).

Keistimewaan ini juga dikuatkan di sejumlah hadis. Di antaranya hadis dari Abdullah bin Umar. Hadis yang dinukilkan oleh ats-Tsa'labi dan al-Wahidi itu menyatakan bahwa orang yang bercocok tanam akan mendapat pahala di sisi Allah SWT.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement