REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inggris akan mengikuti langkah negara-negara Eropa lainnya untuk keluar dari sebuah perjanjian internasional, yang telah dikritik lantaran menghalangi upaya memerangi perubahan iklim. Perjanjian itu juga dinilai berpihak terhadap investasi di sektor energi yang meluas ke bahan bakar fosil.
Perjanjian Piagam Energi (Energy Charter Treaty) tahun 1998 memungkinkan perusahaan-perusahaan energi untuk menggugat pemerintah atas kebijakan-kebijakan yang merugikan investasi mereka, dan dalam beberapa tahun terakhir ini telah digunakan untuk menentang kebijakan-kebijakan yang mewajibkan penutupan pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil.
Inggris menyatakan bahwa telah terjadi kegagalan dalam upaya memodernisasi perjanjian tersebut untuk menyelaraskannya dengan net zero.
“Perjanjian Piagam Energi sudah ketinggalan zaman dan sangat membutuhkan reformasi, namun perundingan terhenti dan pembaruan yang masuk akal tampaknya semakin tidak mungkin dilakukan,” kata Menteri Negara untuk Keamanan Energi dan Net Zero, Graham Stuart, dalam sebuah pernyataan.
“Tetap menjadi anggota tidak akan mendukung transisi kita menuju energi yang lebih bersih dan lebih murah, dan bahkan dapat menghukum kita atas upaya-upaya terdepan di dunia dalam mencapai net zero,” tambah Stuart seperti dilansir Reuters, Kamis (22/2/2024).
Setelah mempertimbangkan pandangan bisnis, industri dan masyarakat sipil, Inggris akan memicu penarikan diri dari Piagam Energi yang akan berlaku setelah satu tahun. Negara ini juga akan menghapus perlindungan untuk investasi baru setelah periode ini.
Pada Juli lalu, Komisi Eropa mengusulkan agar negara-negara Uni Eropa bersama-sama keluar dari perjanjian tersebut. Sembilan negara anggota UE termasuk Perancis, Jerman, Spanyol dan Belanda telah melakukannya.