Senin 12 Aug 2024 07:07 WIB

Ilmuwan Gunakan Satelit untuk Kumpulkan Data Kutub Selatan

Perubahan iklim mengubah pola presipitasi di Kutub Selatan.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Salju berwarna hijau menyelimuti es di Antartika dampak dari perubahan iklim (Foto: green snow)
Foto: Cnet
Salju berwarna hijau menyelimuti es di Antartika dampak dari perubahan iklim (Foto: green snow)

REPUBLIKA.CO.ID, ARIZONA -- Ilmuwan menggunakan satelit penginderaan jarak jauh untuk mengumpulkan informasi mengenai tanah dan air sekitar Kutub Selatan. Profesor Hidrologi dan Ilmu Atmosfer University of Arizona, Amerika Serikat (AS) Ali Behrangi, menjadi salah satu peneliti yang mengumpulkan data dari orbit untuk mengukur tingkat curah salju di kawasan itu.

Ia meneliti bagaimana perubahan iklim mengubah pola presipitasi di Kutub Selatan. Presipitasi merupakan proses jatuhnya segala materi yang dicurahkan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam bentuk cair (hujan) maupun padat (salju).

"Studi iklim kami membutuhkan data akurat yang konsisten dan diambil dalam waktu lama," kata Behrangi seperti dikutip dari situs media The University of Arizona, AZPM, Ahad (11/8/2024).

Pengamatan Antartika merupakan bagian dari Proyek Klimatologi Curah Hujan Global (GPCP), studi tentang iklim global yang dimulai pada tahun 1990-an. Behrangi mengatakan program ini menyediakan analisis yang konsisten tentang curah hujan global dari berbagai kumpulan data satelit di darat dan laut.

Sejak 2017 Behrangi merupakan peneliti utama proyek yang didanai Badan Antariksa Nasional AS (NASA) itu. Temuan GPCP digunakan dilebih dari 5.000 publikasi ilmiah dan menjadi sumber data utama banyak laporan perubahan cuaca.

Antartika tidak menerima begitu banyak salju, tapi jumlahnya sangat penting. "Banyak presipitasi terjadi di sepanjang daerah pesisir, namun di bagian tengahnya pada dasarnya gurun," kata Behrangi.

Antartika lebih besar 50 persen dari Amerika Serikat. Sebagian besar wilayahnya ditutupi lapisan es yang memiliki ketebalan rata-rata 1,9 kilometer. Lapisan es ini mengandung 60 hingga 70 persen dari total pasokan air tawar di bumi.

"Jumlah air tawar yang terkandung dalam es ini sangat banyak, jika semuanya mencair lapisan es ini cukup menaikkan permukaan laut seluruh dunia hingga 58 meter," kata Behrangi.

Ia mengatakan. sejak 1900 rata-rata tinggi permukaan air laut sudah naik 21 sentimeter. Ia memperkirakan mencairnya es di Antartika diperkirakan menambah 11 sentimeter permukaan laut global pada akhir abad ini.

Seiring dengan menghangatnya iklim, kesehatan dan nasib lapisan es serta kontribusinya terhadap kenaikan permukaan air laut bergantung pada arus masuk dan keluar es dan salju dari lanskap Antartika. "Aliran masuk ke benua pada dasarnya adalah hujan salju yang kami ukur, dan aliran keluarnya adalah pelepasan es ke lautan dan sublimasi," kata Behrangi.

Ia mengatakan data satelit sangat penting untuk melacak perubahan ini. Ia menambahkan, pengamatan menunjukkan meskipun ada beberapa akumulasi es di daratan, wilayah pesisir di Antartika barat mencair lebih cepat, dan tren keseluruhan Antartika kehilangan es dalam jumlah yang signifikan.

Baru-baru ini NASA memilih tim peneliti Behrangi untuk meningkatkan pekerjaan GPCP yang diharapkan dapat menunjukkan peningkatan akurasi dan konsistensi dalam pengukuran curah hujan di sekitar Kutub Selatan dan seluruh dunia.

"Kami akan bekerja sama dengan berbagai ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu untuk lebih memahami kebutuhan, memverifikasi temuan kami, dan memaksimalkan dampak dari pekerjaan dan kontribusi kami terhadap ilmu pengetahuan," kata Behrangi. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement