Selasa 18 Feb 2025 18:31 WIB

Menunggu Bukti DNA Banyak Wide dan Sumitro pada Prabowo

Ayahanda Prabowo, Sumitro, orang yang sangat sibuk, tapi ia tetap menulis buku.

Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto (kanan) bersama anaknya Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo (kedua kanan) berdoa di makam Soemitro Djojohadikusumo di TPU Karet Bivak, Jakarta, Kamis (15/2/2024). Prabowo juga berziarah ke makam ibunya Dora Marie Sigar di TPU Tanah Kusir.
Foto: ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso
Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto (kanan) bersama anaknya Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo (kedua kanan) berdoa di makam Soemitro Djojohadikusumo di TPU Karet Bivak, Jakarta, Kamis (15/2/2024). Prabowo juga berziarah ke makam ibunya Dora Marie Sigar di TPU Tanah Kusir.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha

Pada tulisan terdahulu, saya sudah menjelaskan silsilah Prabowo Subianto dari garis ayahnya. Ia merupakan keturunan darah biru ningrat Jawa. Namun bukan sekadar itu, ia adalah keturunan Kertanegara IV yang berjuluk Banyak Wide, yaitu seorang pengikut Pangeran Diponegoro dalam perang melawan Belanda, sehingga ia kemudian dibuang ke Ternate, kini masuk Maluku Utara.

Baca Juga

Tulisan ini lebih fokus ke sosok ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo. Namun sebelum itu, akan dijelaskan tentang kakeknya, yaitu Margono Djojohadikusumo.

Kehilangan Dua Anak

Margono memiliki lima anak, yaitu tiga putra dan dua putri. Yang putra adalah Sumitro, Soebianto, dan Soejono. Sumitro memilih menjadi intelektual dengan melanjutkan kuliah di Eropa. Ia mulai dengan kuliah ekonomi di Netherlands School of Economics di Rotterdam. Dalam dua tahun tiga bulan ia bisa menyelesaikannya. Kemudian ia melanjutkan ke Prancis, di Universitas Sorbonne. Kali ini ia kuliah filsafat dan sejarah. Setelah itu ia kuliah ekonomi lagi di Rotterdam. Di usia 25 tahun ia sudah meraih gelar doktor ekonomi pada 1943. Disertasinya tentang kredit rakyat di masa depresi (telah diterbitkan LP3ES). Setelah lulus, Sumitro diminta bekerja di Lembaga Penelitian Ekonomi di kampus ia kuliah.

Soebianto memilih kuliah kedokteran di Jakarta, saat itu masih bernama Batavia. Namun di masa pendudukan Jepang, ia bersama teman-temannya bergabung di Akademi Militer Tangerang. Adiknya, Soejono, yang masih berusia 16 tahun, ikut dilatih di akademi tersebut. Di masa pergolakan tersebut, Soebianto lebih sibuk ikut perang daripada kuliah. Sedangkan ayahnya, Margono, juga sibuk berjuang. Di awal kemerdekaan ia ditugasi Bung Karno untuk membuat Bank Indonesia, namun bank yang ia dirikan batal menjadi bank sentral, sehingga menjadi Bank Negara Indonesia (BNI). Adapun bank sentral diambil dari De Javasche Bank, bank sentral yang didirikan kolonial Belanda pada 1828, yang kemudian dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia. Margono juga diangkat menjadi ketua DPA yang pertama. Ia juga sibuk membagikan beras di daerah Surakarta dan Solo.

Sabtu, 26 Januari 1946, Margono baru saja tiba di Hotel Merdeka, setelah seharian sibuk mengurus pembagian beras. Namun langit terasa gelap. Ia mendapat kabar dua anaknya, Soebianto (21 tahun) dan Soejono (16 tahun), gugur, bersama 29 teman-temannya. Mereka terlibat pertempuran melawan Jepang di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan. Kabar itu telat ia terima. Mereka telah gugur pada 25 Januari 1946 saat berusaha merebut gudang senjata Jepang. Ia kehilangan dua anaknya sekaligus.

Soebianto penggemar puisi. Ia mengumpulkan puisi dari berbagai penjuru dunia untuk menjadi falsafah hidupnya. Saat gugur, di saku celananya terdapat sebait puisi karya Henriette Roland Holst:

We are not the builders of the temple

We are only the bearers of the stones

We are the generation that has to perish

So that a better one may rise from our graves

Puisi itu kemudian diterjemahkan Rosihan Anwar dan dipahatkan di Taman Makam Pahlawan Tangerang:

Kami bukan pembina candi

Kami hanya pengangkut batu

Kamilah Angkatan yang mesti musnah

Agar menjelma angkatan baru

Di atas kuburan kami lebih sempurna

Di Rotterdam, di masa pergolakan itu, Sumitro sakit selama satu tahun dan hanya terbaring di rumah sakit. Kabar kemerdekaan membuat dirinya berangsur sembuh. Ia yakin dua adiknya ikut berjuang. Setelah itu ia kembali bekerja. Setelah Jepang kalah oleh Sekutu, pemerintah Belanda memutuskan untuk kembali menjajah Indonesia. Prof Gonggrijp, promotor untuk disertasinya, pernah tinggal di Indonesia karena ayahnya pejabat kolonial di Jawa. Gonggrijp tentu mendukung penjajahan kembali Indonesia. Sikap itu pun dibawa di Lembaga Penelitian Ekonomi tempat Sumitro bekerja. Tentu saja Sumitro berbeda pendapat. Akhirnya, pertengkaran keduanya menjadi perang terbuka di media massa, baik hasil wawancara maupun dalam artikel ilmiah.

Di saat seperti itu, Dewan Keamanan PBB melakukan sidang di London pada 7 Februari 1946. Setelah melalui jalan berliku, Sumitro dan Zairin Zain bisa mendompleng sebagai penasihat ahli dalam delegasi Belanda. Di situ ia bisa mengetahui sikap negara-negara dalam menilai Indonesia. Perjuangan Ukraina, Mesir, dan Uni Soviet untuk menilai secara objektif tentang Indonesia kalah oleh sikap Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah kembali Indonesia. Usai sidang selama enam hari, Sumitro pulang ke Indonesia. Tiba di Jakarta ia disambut kabar duka kematian dua adiknya. Karena itu, kelak, dua anak lelakinya diberi nama dua adiknya tersebut: Prabowo Soebianto dan Hashim Soejono.

Tiba di Jakarta, Sumitro langsung bergabung dengan Sjahrir. Ia ikut berbagai delegasi perundingan memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional. Tentu ia melaporkan ke Sjahrir tentang situasi persidangan saat ia mendompleng menjadi anggota delegasi Belanda. Kekalahan di persidangan itu, kata Sumitro, karena Indonesia tidak ikut hadir.

 

Ekonom

Para ekonom Indonesia harus benar-benar mencontoh apa yang sudah dilakukan Sumitro – jangan cuma sibuk mencari uang dan kuasa dengan menjadi komisaris, jadi menteri, atau jadi konsultan ini-itu. Sumitro orang yang sangat sibuk, tapi ia tetap menulis buku. Ada 13 buku utuh yang ia tulis – bukan kumpulan tulisan dari makalah atau artikel di jurnal apalagi di koran. Ia juga menulis tiga buku yang ditulis bersama orang lain. Juga ia telah menulis 20 tulisan di jurnal. Hal itu bisa dilihat pada buku biografinya. Sedangkan M Dawam Rahardjo mencatat ada 118 tulisan Sumitro dalam bentuk buku, paper, maupun artikel di jurnal (silakan baca buku tentang pemikiran ekonomi Sumitro yang ditulis Dawam).

Sumitro adalah pribadi yang lengkap: pejuang, ekonom/akademisi/peneliti, dan praktisi (menteri/pengusaha). Sebagai pejuang ia ikut menjadi anggota delegasi Indonesia saat memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Indonesia secara sah oleh dunia internasional. Ia menjadi menteri beberapa kali. Di masa Soeharto ia menjadi menteri perdagangan dan menteri negara riset. Di masa demokrasi liberal ia dua kali menjadi menteri keuangan (kabinet Burhanuddin Harahap dan kabinet Wilopo). Ia juga menjadi menteri perdagangan dan perindustrian di kabinet Natsir.

Saat menjadi menteri, ada beberapa jejaknya yang bisa dicatat. Pertama, ia mengundang modal asing untuk berinvestasi di Indonesia. Kedua, ia membuat program Rencana Urgensi Perekonomian (RUP), yang dikenal sebagai Sumitro Plan. Ketiga, ia membuat Program Benteng, yang merupakan bagian integral dari RUP. Program Benteng ini pada praktiknya adalah menumbuhkan pengusaha-pengusaha pribumi dan memberikan lisensi impor kepada pribumi agar mereka bisa ikut berpartisipasi dalam berbisnis dan importasi yang saat itu umumnya asing atau Tionghoa. Selain itu juga memberikan alokasi devisa dan kredit untuk pengusaha pribumi. Saat itu ekonomi Indonesia masih dikuasai asing. Keempat, ia membuat roadmap industrialisasi yang diberi nama Rencana Urgensi Perindustrian – sekali lagi ini menjadi bagian integral dari RUP. Inilah program industrialisasi. Di masa Belanda, Indonesia fokus di pertanian dan perkebunan yang berorientasi ekspor, yang terputus dengan aktivitas ekonomi lainnya. Menurut Sumitro, Indonesia harus masuk ke industri dengan membangun berbagai industri, termasuk hilirisasi dari hasil bumi. Melalui program ini, Sumitro juga ingin menyambungkan ekonomi perdesaan dan UMKM dengan industri serta ekonomi domestik dengan ekonomi global. Dengan demikian ia ingin mengakhiri dualisme ekonomi yang diciptakan kolonial Belanda. Program ini sangat nasionalistik karena di dalamnya tercakup juga pembentukan industri pertahanan, kimia dasar, semen, pembangkit listrik, irigasi, dan pengangkutan. Pemerintah akan menyediakan modal dan memegang 2/3 saham istimewa dan mayoritas di direksi. Kelima, ia mendorong koperasi untuk menjadi bagian dalam sistem ekonomi nasional. Sumitro sangat mementingkan ekonomi rakyat dan UMKM.

Setelah tak menjadi menteri, ia menjadi dekan Fakultas Ekonomi UI. Ia menjalin kerja sama dengan Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat. Atas biaya Ford Foundation, ia kirim para sarjana Indonesia untuk belajar di Berkeley, seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, JB Sumarlin, dan lain-lain. Selain itu, dosen-dosen ekonomi dari Berkeley juga mengajar di UI. Kelak di masa Orde Baru, mereka inilah yang menjadi ekonom di sekeliling Soeharto, yang kemudian dikenal sebagai Mafia Berkeley. Ia juga mendirikan LPEM UI, yang menjadi lembaga berpengaruh dalam perumusan kebijakan ekonomi di Indonesia. Ia juga melakukan ‘nasionalisasi’ di FEUI. Warisan terpentingnya adalah ia membangun bidang studi ekonomi pembangunan, yang ia harapkan menjadi “Jakarta School” dalam pemikiran ekonomi.

Di mana posisi Sumitro dalam peta pemikiran ekonomi di Indonesia? Dawam Rahardjo menulis sebuah buku tentang pemikiran ekonomi Sumitro (Nasionalisme, Sosialisme, dan Pragmatisme, LP3ES, 2017). Dawam juga menyinggungnya dalam pidato guru besarnya yang berjudul Pragmatisme dan Utopia; Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia (LP3ES, 1992).

Dengan menggunakan kategorisasi yang dibuat Volker Nienhaus, Dawam membedakan pendekatan ekonomi ke dalam empat kelompok: pragmatis, resitatif, utopian, dan adaptif. Oleh Dawam, pendekatan resitatif diadaptasi menjadi pendekatan legal-formal. Dalam praktiknya, para pemikir ekonomi Indonesia bergerak dari satu kategori ke kategori lain. Tiap orang bisa memiliki kecenderungannya tersendiri untuk bertitik berat pada salah satu atau salah dua dalam empat kategori tersebut. Dawam mencatat ada tujuh ekonom yang patut ia ulas, yaitu Muhammad Hatta, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawiranegara, Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Mubyarto, dan Sri-Edi Swasono.

Jika dalam ekonomi ada dua kutub sosialisme dan kapitalisme, maka Dawam menempatkan Hatta berada di posisi paling kiri, Syafruddin paling kanan, maka Sumitro ada di tengah. Nah, di antara Sumitro dan Syafruddin ada Widjojo. Namun Widjojo lebih dekat ke Syafruddin. Adapun Emil Salim, Mubyarto, dan Sri-Edi Swasono ditempatkan dalam perdebatan tentang pencarian tentang Sistem Ekonomi Pancasila. Mubyarto berpandangan utopian, sedangkan Sri-Edi Swasono berpandangan legal-formal. Emil hakikatnya satu barisan dengan Widjojo sebagai sesama teknokrat Orde Baru yang pragmatis dan percaya pada ekonomi pasar. Namun Emil lebih ideologis daripada Widjojo. Ia mencitakan ada sistem ekonomi sendiri untuk Indonesia. Misalnya ada perencanaan, keselarasan, keseimbangan, kerakyatan, kemanusiaan, dan religiusitas.

Sumitro adalah seorang sosialis secara nominal namun ia seorang pragmatis secara esensial. Karena itu Sumitro adalah kiri dan nasionalis sekaligus. Ia percaya pada modal asing, namun negara memegang peranan sangat penting. Hal ini bukan soal pilihan, tapi suatu keharusan. Karena itu, pertama-tama bagi Sumitro adalah menjadi nasionalis, setelah itu menjadi sosialis. Namun demikian, Sumitro adalah seorang pragmatis, tepatnya sosialis-pragmatis. Itulah kesimpulan Dawam tentang Sumitro.

Setelah mengasingkan diri di masa Orde Lama dan kemudian kembali ke Indonesia di masa Orde Baru, Sumitro bergabung lagi di pemerintahan. Namun Widjojo, anak didiknya, yang menjadi pimpinan ekonom di pemerintahan. Widjojo dan kawan-kawan, yang kemudian disebut sebagai Mafia Berkeley, lebih berpaham neo-klasik, yang sangat berorientasi pada mekanisme pasar bebas. Hal itu tentu saja berbeda haluan dengan pemikiran dirinya yang menginginkan “Jakarta School”. Sumitro tak menolak ekonomi pasar, tapi bukan berarti menyerahkan sepenuhnya pada free market. Ia menolak prinsip menyerahkan pada “kekuatan yang menguasai” pasar. Ia mengibaratkan free market sepenuhnya seperti mempertandingkan petinju Indonesia melawan Muhammad Ali, juara tinju dunia. Sumitro sangat peduli pada ekonomi kecil dan koperasi, karena si kecil harus diperhatikan sehingga perimbangan kekuatan dapat menjadi lebih sehat.

Pada dekade 1990an, Sumitro makin keras bersuara. Apa yang ia khawatirkan benar-benar terjadi. Free market telah menjadi free fight liberalism. Terjadi ketimpangan distribusi pendapatan dan penguasaan sumber dana maupun sumberdaya. Juga tidak terciptanya kelas wirausaha Indonesia dan ekonomi rakyat tidak terbentuk. Sektor pertanian tidak terkait dengan sektor industri. Dan, akhirnya, terbentuk konglomerasi yang telah membawa bencana bagi Indonesia. Selanjutnya, Orde Baru pun runtuh. Pada dekade 1990an Sumitro bicara tentang kebocoran anggaran APBN hingga 30 persen. (Untuk mendalami ihwal ini bisa dibaca pada buku biografinya, dan khusus soal RUP bisa pula dibaca di buku Bisnis dan Politik karya Yahya A. Muhaimin).

Pertanyaannya adalah, apakah Prabowo akan membawa serta pemikiran Sumitro dalam kebijakannya sebagai Presiden? Apakah hanya darah Sumitro saja yang mengalir pada diri Prabowo? Apakah nilai dan daya juang Banyak Wide dan Sumitro akan menjadi DNA Prabowo? Inilah yang ditunggu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement