REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pakar kependudukan mengatakan, Indonesia akan mengalami kesulitan dalam mencapai target tujuan pembangunan milenium (MDGs) karena rendahnya komitmen pemerintah dan lembaga politik dalam memprioritaskan kesehatan dan pendidikan. "Saya pesimis target-target MDG bisa tercapai pada 2015," kata dosen studi pembangunan ekonomi Fakultas Ekonomi UI Mayling Oey Gardiner pada Pidato Inaugurasi menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta, Senin.
Tahun 2000 ada 189 negara anggota PBB berkomitmen pada delapan tujuan, yakni pemberantasan kemiskinan dan kelaparan, mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak. Kemudian, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, menjamin kelestarian lingkungan hidup, serta mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Menurut dia, Indonesia berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 20,6 persen pada 1990 menjadi 16,6 persen pada 2007, tetapi dengan indikator penduduk miskin yakni yang hidup dari kurang dari satu dollar AS per kapita per hari. "Namun jika ukurannya ditingkatkan menjadi dua dollar AS per kapita per hari, maka masih 49 persen penduduk Indonesia tergolong miskin," katanya.
Sedangkan untuk mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, jika yang dimaksud pendidikan dasar adalah sembilan tahun, maka target tersebut masih sulit terjangkau. "Pada 2007 Angka Partisipasi Murni (APM) untuk SD adalah 94 persen tetapi jika APM anak usia 13-15 tahun yang bersekolah di SLTP maka baru 67 persen, apalagi belum ada terobosan untuk meningkatkan APM ini," katanya.
Ia menyesalkan, pemerintah saat ini asik mensubsidi sekolah berstandar internasional sampai Rp500 juta per tahun, sementara tak ada subsidi agar anak-anak di pelosok bisa melanjutkan ke SLTP seperti yang dikehendaki program MDG. Sedangkan di bidang kesehatan, ia belum mendengar pemerintah tegas memprioritaskan penurunan angka kematian ibu dan anak, padahal target MDG harus menurunkan angka kematian ibu (AKI) menjadi 102 per 100 ribu kelahiran hidup pada 2015. "Survei SDKI pada 2007 melaporkan AKI 228 per 100 ribu kelahiran hidup. Ini terkait dengan masih tingginya ibu melahirkan tanpa bantuan medis terlatih, yakni masih sepertiga kelahiran," katanya.