REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Asep S Muhtadi
Dalam banyak riwayat digambarkan bahwa Rasulullah selalu memelihara shalat secara berjamaah. Sepanjang melaksanakan shalat, mereka menjalin hubungan mesra, bukan saja dengan Allah (habl min Allah), melainkan juga dengan sesama manusia (habl min an-nas).
Keseluruhan gerakannya mengilustrasikan persamaan dan kesetaraan, sekaligus mengikat kuat kebersamaan dan kedekatan satu sama lain. Dalam suasana batin yang tulus, jasad yang bersih, tak ada kata yang terucap kecuali mengagungkan Allah. Setelah seorang imam menutup surah al-Fatihah, jamaah pun menjawab, "amin".
Dalam shalat, mereka menyamakan persepsi, sikap, dan bahkan perilaku. Lihatlah, ketika waktu shalat tiba, mereka menghentikan sementara seluruh aktivitas yang tengah dilakukannya. Mereka bergegas mendatangi rumah-rumah Allah dan bertasbih menghormati tempat suci itu. Semua berbaris rapi, mengikuti isyarat yang sama untuk melakukan gerakan yang sama pula.
Keseluruhan perasaannya tercurah total kepada Sang Pencipta. Di pengujung shalat, semua serempak menebar keselamatan, "Assalamu'alaikum", sebagai wujud penghambaan kepada-Nya dan penghormatan kepada sesamanya. Inilah wujud kebersamaan yang dibangun di atas nilai-nilai religiositas keislaman.
Pada kesempatan itulah Rasulullah memelihara kerukunan dengan para sahabat. Nasihat-nasihatnya disampaikan untuk mempertebal keyakinan dalam berkhidmat pada kepentingan ajaran. Mengalirlah kata-kata hikmah dari seorang Nabi pilihan Allah, "Bangun keakraban di antara sesama". Kini, pemandangan sejarah itu semakin kabur. Suasana rukun pelan-pelan lenyap. Rasulullah pun melihat pemandangan akhir zaman itu dalam suasana perih. Seolah tak sanggup menyaksikan kenyataan porak-porandanya umat, terpecah-pecah kepentingan dan egoisme. Semangat primordial yang sering mengancam kebersamaan, dan begitu mudah merobohkan tiang-tiang persaudaraan.
Mungkin ada hikmah di balik rasa perih itu. Mengapa Allah tak mengamini kehendak Rasulullah untuk tetap menjaga kokohnya kebersamaan? Di antara rasa perih dan keharusan menyampaikan risalah inilah, Nabi SAW tak lelah memberi nasihat, "bangunlah keakraban". Keakraban memang dapat menjembatani segala bentuk kebekuan, terutama kebekuan psikologis yang sering merusak kebersamaan.
Keakraban juga mendorong tumbuhnya solidaritas dan kerja sama untuk mewujudkan kesadaran kolektif mengikat umat. Lebih memprihatinkan lagi ketika suasana itu melilit hubungan antarumat beragama. Memang, istilah 'umat beragama' telah lama menjadi ungkapan yang sangat akrab. Namun, belum tentu setiap orang memberikan apresiasi yang sama. Umat beragama, di satu sisi, dapat dilihat sebagai wujud kebersamaan individu yang terikat pada nilai-nilai agama. Ia adalah potensi sosial yang dapat menjadi kekuatan raksasa dalam mewujudkan cita-cita kolektif menuju kesejahteraan bersama.
Tapi, di sisi lain, kerap kali umat beragama hanya dipandang sebagai kekuatan politik yang dimanfaatkan untuk kebutuhan sesaat. Karena itu, sangat mungkin, jika agama cenderung berperan sebagai pemicu konflik ketimbang perekat kebersamaan. Wallahu A'lam