REPUBLIKA.CO.ID, KABUL--Provinsi Kandahar di Afghanistan selatan semakin tenggelam dalam kemelut. Dataran tinggi yang dulunya merupakan markas Taliban itu kembali terancam jatuh ke tangan mereka yang menyebut diri pejuang Allah. Hassina Zarghon mencurahkan isi hatinya. "Kondisi keamanan tak ada yang seburuk di Kandahar. Di sini benar-benar kacau. Orang-orang banyak masalah, banyak yang merasa cemas,“ tutur dia
Penduduk Kandahar itu menceritakan tentang situasi keamanan di provinsi ia bermukim. Sekitar 1,3 juta orang yang tinggal di Kandahar, hampir tiga tahun belakangan ini, merasa hidup bagai dalam kancah peperangan. Bom bunuh diri maupun ancaman bom serta penyerangan, menjadi santapan sehari-hari.
Kelompok Taliban menganggap mereka yang tidak mau ikut berjuang bersama Taliban, sebagai musuh. Seorang penduduk kota Kandahar, Ezmarai Jabarkhail merasa situasi ini mirip dengan situasi tanpa hukum, ketika terjadi perang saudara setelah penarikan pasukan Uni Soviet pada akhir tahun 1980-an. "Tak ada seorangpun yang dapat merencanakan kehidupan mereka. tak peduli siapapun yang pada pagi hari meninggalkan rumah, baik seorang supir ataupun politisi terkenal, tak ada yang tahu apakah malam harinya mereka dapat pulang ke rumah dengan selamat atau tidak. Saat ini kami hidup dalam kemelut,“ tutur dia.
Rencana gempuran pasukan NATO terhadap Taliban juga memberikan kontribusi bagi ketidakpastian mereka yang tinggal di provinsi itu. Menurut informasi resmi, sekitar 15 ribu serdadu Afghanistan dan 28 ribu anggota pasukan NATO akan segera menggelar operasi militer luas melawan Taliban.
Namun berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, orang-orang belajar bahwa aksi militer saja tak dapat menjamin keamanan. Kebanyakan dari mereka mengetahui bahwa setelah penarikan pasukan militer maka Taliban akan kembali. Polisi yang kemudian mengambil alih ketertiban. Namun polisi tak lagi dipercaya oleh masyarakat di Kandahar. Seorang warga menceritakan: "Polisi disini tak berpendidikan baik. Kebanyakan dari mereka bahkan tak dapat membaca atau menulis. Sebagian juga tak mengenakan seragam. Mereka tak membantu orang-orang. Mereka membuat orang marah dan bertindak sewenang-wenang.
Polisi dituding tidak serius dalam melawan Taliban. Karena mengkhawatirkan keselamatan sendiri, tak jarang dari mereka bahkan bekerjasama dengan Taliban. Namun bagi kepala polisi Kandahar, Muhammad Zazi, tudingan itu tidak berdasar. Kata dia, “Polisi hadir untuk melayani masyarakat. Kami tidak mentolerir anggota kepolisian yang tidak memperhatikan aturan. Siapapun yang melanggar hukum, akan disingkirkan dari institusi.”
Di lain pihak, pakar keamanan Afghanistan Munir Ahmad punya pandangan berbeda. Ia mengritik bahwa polisi di selatan Afghanistan seolah tak bekerja di bawah pemerintahan. Mereka kebanyakan merupakan pejuang bayaran yang direkrut pada masa pendudukan Uni Soviet. Menurut Munir, di Kandahar terdapat pasukan polisi yang sebagian mengenakan seragam, namun masih merasa sebagai tentara bayaran. Orang-orang ini tidak merasa bertanggung jawab pada pemerintah, melainkan kepada para panglima perang lokal dan rekan-rekannya.