REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Salah satu anggota Fraksi PDI Perjuangan di Komisi II DPR RI, Rahadi Zakaria, menegaskan, pihaknya telah tiba pada satu sikap, tidak mempertentangkan monarki versus demokrasi. "Kita harus semakin melek teori negara, hukum tatanegara dan sejarah," ujarnya.
Monarkhi itu kan padanannya Republik. Sementara Demokrasi itu versus Diktatoriat atau Otorianisme. Itu baru benar padananannya," tandas alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini di Jakarta, Sabtu (11/12).
Ia mengemukakan ini terkait dengan upaya PDI Perjuangan melalui fraksinya di DPR RI yang mengadopsi aspirasi mayoritas rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam perumusan Rancangan Undang Undang Keistimewaan (RUUK) DIY tersebut.
Pihaknya kemudian menilai, mempertentangkan monarkhi versus demokrasi, jelas sangat "jauh panggang dari api". "Persoalan dan faktanya kan tidak demikian?" ujarnya. "
"Apakah di negara-negara yang menganut sistem monarkhi tidak ada demokrasi?" lanjut dia, "Sebaliknya, mengapa di negara-negara republik yang dipimpin junta militer atau sistem komunis justru yang mengemuka adalah otoritarian dan diktatoriat," tanyanya.
Yogya Demokratis
Kembali ke soal DIY, Rahadi Zakari menilai, selama ini tidak ada tatacara diktator diterapkan pihak Kesultanan Ngayogyakarta. "Yang ada Yogya Demokratis, bukan menerapkan tirani minoritas atau diktator mayoritas, dan sejauh ini situasi kehidupan pemerintahan, kemasyarakatan dan kultural berdinamika secara tenteram," ujarnya.
Mengenai tatacara pemilihan pemimpin DIY, yakni Gubernur dan Wakil Gubernur, menurutnya, tidak bisa pula dipertentangkan antara "penetapan" versus "pemilihan".
"Ada aturan dalam pasal-pasal di konstitusi kita (Undang Undang Dasar 1945), baik itu menyangkut pemilihan kepala daerah maupun penerapan suatu kekhususan dan keistimewaan. Jadi ada yang dinamakan 'lex generalis' atau berlaku umum, ada pula 'lex especialis' (berlaku khusus atau istimewa)," katanya.
Kalau di DIY diterapkan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur, bagi Rahadi Zakaria, itu juga sah secara konstitusi serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
"Bukankah demokrasi itu berniat memberi keleluasaan kepada rakyat atau publik untuk bersikap? Nah, sikap mayoritas publik DIY kan menghendaki penetapan kepala daerahnya, bukan pemilihan. Itu juga demokrasi," tandasnya.
Karena itu, Rahadi Zakaria meminta para pihak ditataran elite, jangan cenderung menilai demokrasi, monarkhi, republik, diktator, pemilihan langsung atau penetapan kepala daerah secara salah kaprah seperti terjadi selama ini.