REPUBLIKA.CO.ID, Dalam autobiografinya yang dijadwalkan akan terbit pada Selasa, 8 Februari mendatang, mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat era George W Bush, Donald Rumsfeld menulis bahwa 15 hari setelah tragedi runtuhnya Gedung World Trade Center (WTC) pada 9 September 2001, ketika Pentagon fokus terhadap perang Irak, Bush memanggilnya dan menyusun rencana untuk menyerang Irak.
"Dua minggu setelah teror terburuk dalam sejarah Amerika, beberapa pejabat di Departemen Pertahanan dikumpulkan", tetapi Bush memintanya untuk melakukan semacam 'upaya lain' untuk menginvasi Irak, seperti dilaporkan The Huffington Post, Kamis (3/2).
Bagaimana pun juga, menurut dia, perang Irak merupakan yang terburuk dan tidak alasan apapun yang dibenarkan untuk menengahi konflik. Ia mengatakan, jika rezim mantan Presiden Irak, Saddam Hussein tidak berada di luar (Palestina && Israel), Timur Tengah kemungkinan bakal menjadi lebih buruk dan berbahaya dari apa yang ada sekarang ini.
Selain itu, dalam memoarnya Rumsfeld juga menyinggung soal perang di Afghanistan. Ia mengaku meragukan keterlibatan tentara AS di Afghanistan. Bahkan ia mengatakan, bahwa bertambah banyaknya tentara AS tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan di Afghanistan.
"Mengirimkan banyak tentara ke wilayah-wilayah di Afghanistan tidak akan memberikan soslusi atas masalah yang panjang yang diderita negara tersebut. Kenyataannya, mereka bahkan dapat memperburuk situasi dengan menumbuhkan kebencian di kalangan penduduk untuk mendorong kebanggaan dan menyediakan lebih banyak target musuh-musuh kita untuk menyerang," tuturnya.
Rumsfeld merupakan arsitek dalam rencana perang Irak. Dia dan beberapa pejabat pejabat AS lainnya telah menyebutkan adanya senjata pemusnah massal, yang kemudian dijadikannya sebagai alasan untuk menyerang Irak, tetapi senjata-senjata ini tidak pernah ditemukan hingga saat ini.
Pada 2006 lalu, Rumsfeld menghentikan perang di Irak, setelah kondisi di negara tersebut menjadi kacau dan kian tak terkendali setelah tiga atau setengah tahun. Sejak AS memimpin insvasi di Irak pada 20 Maret 2003, setidaknya sudah 4.400 tentara AS terbunuh dan lebih dari 31.830 mengalalami luka-luka.
Kerugian dari Invasi itu juga mengakibatkan 1,3 juta warga sipil di Irak meninggal dan 4,7 juta lainnya menungsi, demikian menurut laporan.