REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Maswadi Rauf mengatakan, menggabungkan monarki absolut dengan demokrasi, terkait dengan situasi di Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah sesuatu yang tidak mungkin. "Menggabungkan monarki absolut seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan demokrasi itu tidak mungkin. Sulit untuk menggabungkan keduanya," katanya, di Jakarta, Kamis (17/2), dalam rapat dengar pendapat di Komisi II DPR dengan agenda mendengar pendapat para ahli soal rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan (RUUK) DIY.
Menurut dia, belajar dari kondisi di negara lain seperti di Inggris, peran raja atau ratu di bidang politik diperkecil, sedangkan kekuasaan perdana menteri diperbesar. Raja atau ratu diberikan kekuasaan yang bersifat simbolis untuk menghormati kedudukan mereka yang istimewa di dalam masyarakat yang merupakan warisan masa lalu.
Sedangkan untuk menjalankan pemerintahan, dipilih orang lain yang memiliki tanggung jawab politik. "Raja atau ratu menjadi institusi politik dibawah konsep 'the king can do no wrong', artinya ia tidak dapat dipersalahkan secara politik karena ia tidak memegang tanggung jawab politik," kata pakar politik ini.
Maswadi mengatakan, konsep serupa dapat diterapkan di Yogyakarta. Kewenangan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam dikurangi sebagai pimpinan simbolis dan memperkuat peran politisi yang bertanggung jawab secara politik. "Konsep Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama itu sudah benar, cuma istilahnya yang menjadi masalah. Sudah tepat untuk tidak menjadikan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai politisi yang memikul tanggung
jawab politik," katanya.
Pemerintahan di DIY seharusnya diserahkan pada orang lain yang memiliki kedudukan politik. Dengan demikian Sultan dan Paku Alam terhindar dari kemelut politik, karena sudah ada orang lain yang bertanggung jawab secara politik. Untuk itu, ia mengkritik materi RUUK DIY yang disatu sisi sudah benar dalam menempatkan Sultan dan Paku Alam, tetapi di sisi lain salah karena membuka peluang Sultan untuk dipilih sebagai gubernur.
Ia mengatakan RUUK DIY ini mengandung dualisme. "RUU ini membuka kesempatan bagi Sultan dan Paku Alam mengikuti pemilihan gubernur, ini pola pikir yang tidak jelas," katanya.
Sementara itu dalam rapat dengar pendapat ini, Komisi II juga mengundang pakar politik Isbodroini Sujanto. Rapat yang berlangsung terbuka ini juga dihadiri perwakilan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan tokoh masyarakat dari Yogyakarta. Komisi II DPR telah menjadwalkan mendengar pendapat dari para pakar, diantaranya adalah pakar politik dan hukum tata negara.