REPUBLIKA.CO.ID, GORONTALO - Sosiolog dari Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Funco Tanipu, berpendapat, kritik yang dilontarkan oleh unsur masyarakat seperti media massa terhadap pemerintah, tidak harus bersifat membangun. "Pernyataan kritik harus membangun itu menjebak, sebab jika ada pendapat yang dianggap tidak membangun, maka akan diperlakukan sebagai tindakan pembangkangan, kriminal," kata dia, Rabu (23/2), menanggapi pernyataan Sekretaris Kabinet Dipo Alam perihal sejumlah media yang terus-menerus menyerang dan mengkritik pemerintah dengan cara yang tidak membangun.
Padahal, menurut dia, kritik merupakan bentuk pembebasan masyarakat dari tirani wacana, kontrol politik yang taat, dan pengendalian kehidupan secara tunggal, karena kehadiran kritik mutlak dibutuhkan pemerintah. Dia mengatakan, jika pandangan pemerintah terhadap kritik masih saja demikian, maka tidak mustahil rezim otoriter ala orde baru, akan kembali terulang di negeri ini.
Dia menambahkan, sikap kritis adalah dinamika politik yang perlu diapresiasi, agar ada motivasi bagi SBY-Boediono dalam menjalankan roda pemerintahan ke arah yang lebih baik. Karenanya, sikap kritis yang dilontarkan media dan elemen masyarakat tidak mesti dilihat sebagai proses disharmonisasi Indonesia, justru sebaliknya.
"Sebab, proses harmonisasi selalu mengapresiasi adanya perubahan. Bukankah perubahan adalah sah bagi setiap sejarah," ujarnya. Terkait hal tersebut, dirinya berharap kelak negara perlu menata kembali sistem demokrasi di negeri ini, agar partisipasi rakyat tidak hanya dinyatakan lewat hak dan kebebasan suara lewat pemilu, tetapi juga menjadikan sarana kritik, sebagai alternatif partisipasi pada proses demokratisasi.