REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tim advokasi jaringan masyarakat sipil untuk perlindungan warga negara, meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi untuk mengkaji peraturan daerah atau surat keputusan (SK) kepala daerah yang melarang aktifitas Ahmadiyah. Tim advokasi jaringan masyarakat sipil yang diwakili oleh Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Erna Ratnaningsih, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nurkholis Hidayat, dan Sri Suparyati dari Kontras, bertemu dengan Mendagri, di Jakarta, Rabu (2/3), untuk menyampaikan permintaan tersebut.
Erna mengatakan sejumlah SK kepala daerah yang mengatur pelarangan aktifitas Ahmadiyah ini melanggar prinsip penghormatan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Serta, melanggar hak untuk menyampaikan pendapatnya dan hak berorganisasi, hak atas pendidikan yang dijamin konstitusi. Ia menuturkan peraturan daerah atau surat keputusan kepala daerah ini dibuat dengan alasan mempertimbangkan pencegahan konflik sosial yang disebutkan diakibatkan karena keberadaan Ahmadiyah.n
Peraturan atau SK kepala daerah ini berarti prematur dan mendahului proses peradilan karena menuduh konflik sosial diakibatkan jemaat Ahmadiyah yang tidak mematuhi ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB), jelasnya. Terlebih lagi, ujarnya, sejumlah peraturan daerah atau SK kepala daerah ini menggunakan pertimbangan hukum berupa fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bukan merupakan lembaga negara.
"Untuk itu, kami mendesak Mendagri untuk melakukan evaluasi terhadap peraturan-peraturan daerah yang bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah," ujarnya.
Erna menjelaskan, dalam pertemuan dengan Mendagri yang berlangsung sekitar 1,5 jam tersebut, Gamawan Fauzi menjelaskan selama perda atau SK kepala daerah itu tidak bertentangan dengan SKB maka tidak masalah. Menambahkan keterangan dari Erna, Nurkholis mengatakan Mendagri harus melakukan evaluasi terhadap perda atau SK kepala daerah tentang Ahmadiyah ini, agar tidak dijadikan legitimasi untuk melakukan kekerasan.
"Ini penting supaya tidak disalahartikan, kami khawatir adanya peraturan yang melampaui SKB, yang melampaui ini harus diuji. Kita khawatir ini jadi legitimasi kekerasan," katanya.
Sementara itu, sejumlah perda atau SK kepala daerah tentang larangan aktifitas Ahmadiyah diantaranya Peraturan Bupati Pandeglang, SK Wali Kota Samarinda, dan SK Gubernur Jatim. SK Gubernur Jatim ini berisi larangan penyebaran ajaran Ahmadiyah, memasang papan nama organisasi Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di tempat umum, pemasang papan nama pada masjid, musholla, dan lembaga pendidikan dengan identitas JAI, serta larangan menggunakan atribut JAI.