REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES--Memperkenalkan dunia Islam kepada masyarakat barat merupakan perjuangan tiada henti. Kini komunitas Muslim yang terpencar di dunia barat seperti AS, tidak lagi mengandalkan jalur dakwah konvensional yang banyak dilakukan Islamic Center.
Mereka menggunakan jalan dakwah lain yang lebih "ngepop" seperti film dan musik untuk membidik generasi muda. Berbicara soal film, tak sedikit sineas Muslim yang unjuk gigi memperkenalkan Islam melalui karya yang dibuatnya. Patut diacungi jempol, sineas-sineas tersebut tidak lagi didominasi kaum adam, sebab banyak bermunculan sutradara wanita.
Sebut saja tiga sutradara perempuan berbakat yang berasal dari tiga negara berbeda seperti Iran, Afganistan dan Lebanon. Tiga negara itulah asal Mostava Heravi, Alka Sadat dan Laila Salas.
Ketiga perempuan ini baru saja kembali dari Los Angeles, untuk menghadiri festival film pendek online bertajuk "Suara Perempuan dari Dunia Islam" yang digagas Los Angeles Film School. Karya ketiganya cukup mendapat apresiasi dari pengunjung festival. Bahkan karya Sadat mendapatkan penghargaan dalam festival tersebut.
Film karya Heravi mengisahkan kehidupan fesyen perempuan di Iran yang digambarkannya tertutup dari kaki hingga kepala. Meski begitu, Heravi berusaha mengatakan bahwa perempuan Iran berbusana tertutup tetap bisa beraktifitas sekalipun ada sejumlah larangan yang harus dipatuhi.
"Di Iran, perempuan memang tidak diperbolehkan untuk menari. Namun, Saya ingin menunjukkan jika mereka diizinkan untuk menari, maka akan terlihat, bagi saya, seperti ini," kata Heravi, 36, yang tinggal di Amsterdam sejak tahun 2000.
Sementara Film karya Sadat berjudul "Half Life Value," menggambarkan situasi kehidupan masyarakat Afganistan pascainvasi AS. Di sana dikisahkan seorang pengacara yang mewakili perempuan yang disiksa suaminya.
Tema kekerasan yang dieksplorasi Sadat berusaha menggambarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan memang belumlah hilang dari bumi Afganistan. Sadat juga ingin mengatakan invasi yang terjadi tidaklah mengubah keadaan menjadi lebih baik melainkan tetap dengan persoalan serupa yang seolah tidak ditemukan jalan keluarnya. "Karya Ini merupakan yang pertama saya kirimkan ke festival film online."
Meski demikian, Sadar memastikan bahwa Afganistan tidak melulu menampilkan citra buruk seperti yang digambarkan masyarakat barat soal burka. Menurut dia, negaranya juga memiliki perempuan-perempuan aktif yang mencoba untuk memperjuangkan sesuatu. "Sebagian besar negara lain menunjukkan wajah yang sangat buruk tentang perempuan di Afghanista terutama soal Burka," kata dia.
Sementara itu, film pendek karya Laila Salas berjudul "Absent Spaces" merupakan buah pengalaman dirinya ketika berusia 16 tahun saat terjebak dalam rumahnya ketika terjadi perang antara Israel dan Hizbullah.
"Bagi saya karya ini merupakan obat sekaligus proses penyembuhan buat saya," papar dia. Salas yang merupakan blesteran Lebanon dan Spanyol kini tinggal di Madrid usai menamatkan studinya tentang Film di San Fransisco State University. "Saya ingin menggambarkan rasa frustrasi generasi muda di dunia Arab, terutama di Libanon, yang hidup di bawah pendudukan. Segala rencana yang anda buat seolah dibajak," katanya.
Festival Film Online tersebut berlangsung selama tiga hari dan memutarkan 63 film pendek dari 21 negara. Sejumlah workshop dan diskusi turut digelar. Festival yang dipersiapkan selama satu tahun ini mengambil latar belakang revolusi yang terjadi di Tunisia dan Mesir, perang saudara di Libya dan kerusuhan lain di dunia Arab.
Adapun tema yang coba diusung festival sengaja dipilih untuk memberikan gambaran tentang kehidupan perempuan berikut hak-haknya di dunia Islam. Yang unik, setiap hal yang berlangsung dalam festival ini ditampilkan dalam media online dan jejaring sosial.
"Saya berpikir bagaimana kita bisa mengirimkan pesan keluar. Lalu saya terpikir untuk menggunakan media internet dan film. Saya bisa katakan ada toleransi yang dijaga umat Islam namun disembunyikan oleh para ekstrimis," papar Leslie Sacks, salah seorang pemilik galer di Los Angeles.
Lebih dari 200 proposal dari 40 negara termasuk Mesir, Afganistan, Pakistan, AS dan Iran dalam laman festival. Dari 200 proposal yang masuk terpilih 98 karya yang mendapatkan komentar paling banyak oleh pemirsa dari seluruh dunia. "Kami menggunakan media dan jejaring sosial untuk menyebarkan pesan lebih lanjut. Melalui media dan jejaring sosial kami sangat mendukung terjadinya pertukaran budaya dan artistik, " kata direktur eksekutif organisasi, Catinca Tabacaru, seperti dikutip dari LA Times, Selasa (22/3).
Sebagian karya yang ditampilkan sineas berbakat dari dunia Muslim boleh dibilang mencerminkan betapa sulitnya perkembangan dunia kreatif di dunia Islam. Bahkan sebagian besar dari karya yang diunduh merupakan karya yang tidak diterima di negaranya sendiri. Karya mereka terkukung sensor resmi negara mereka. "Kami memberikan kesempatan kepada mereka yang hendak menyembunyikan identitasnya. Ternyata mereka memiliki keberanian untuk mengakui apa yang mereka lakukan," kata Sacks.