REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Setelah sedari pagi berputar menjajakan asongan rokok di sekitar Pasar Pramuka, Matraman, Jakarta Timur, Rohmat (34) memilih mengaso sembari makan siang di warung tegal (warteg) Ibu Maemun. Cukup berjalan beberapa langkah dari tempatnya biasa berjualan, Rohmat tiba di warteg langganannya itu.
"Biasa Bu, nasi sayur lauk, bikin jadi Rp 7.000 aja," ujarnya kepada sang pemilik warteg, Ibu Maemun.
Sambil duduk disebelah pengunjung warteg lainya, Rohmat menanti sepiring pesanannya. "Teh tawar jangan lupa, Bu," ujar Rohmat mengingatkan. Saat itu, dengan Rohmat, ada tiga pengunjung yang sedang menyantap makan siangnya di warteg yang sama.
Rohmat menceritakan, dirinya setiap hari selalu makan siang di warteg Ibu Maemun, begitu pula rekan-rekannya yang biasa mengasong di sekitar Pasar Pramuka. Sekalipun harga sekali makan tidak lebih murah dibanding warteg lain, masakan warteg Ibu Maemun, "Nikmat di lidah, pas dikantong," kata Rohmat sembari tertawa karena Ibu Maemun tersenyum mendengar pujiannya.
Saat obrolan beralih ke soal pajak yang bakal dikenakan ke warteg oleh Pemprov Jakarta mulai tahun depan, dahi Maemun dan Rohmat langsung berkerut. Rohmat yang pertama kali memberikan tanggapannya. "Emangnya warteg Ibu Maemun sekelas restoran pakai dipungut pajak. Kalau kena pajak, naik dong harganya!" keluh Rohmat.
Menurutnya, warteg kecil seperti milik Ibu Maemun kasihan jika harus ditarik pajak. "Kan pasti saya juga yang rugi, bayar makannya ikut-ikutan naik."
Maemun selama ini cukup kebingungan menutupi biaya hidup di Jakarta. Dua anak terkecilnya masih duduk di bangku SMP. Setiap bulan setidaknya habis Rp 600 ribu untuk kebutuhan anak-anak, belum lagi tagihan listrik, air dan belanja sehari-hari. "Kalau saya naikkan, apa kata pelanggan saya, mas?"
Rata-rata, setiap orang yang makan di wartegnya membayar tak lebih dari Rp 10 ribu. Untuk menghabiskan masakan yang dijualnya dalam sehari, setidaknya butuh pengunjung 30 orang. "Tapi 20 orang yang makan saja sudah bersyukur," sergahnya.
Pengunjung warteg yang lain, Akbar Farhrudin (29), yang sedang menunggu istrinya berbelanja di Pasar Pramuka, turut memberikan komentarnya. "Pemerintah enggak bisa bedain warteg sama restoran ya? Masa warteg disamain sama restoran Jepang, sih!"
Saat diberitahu bahwa hanya warteg dengan omzet Rp 167 ribu sehari atau Rp 5 juta sebulan atau Rp 60 juta setahun, Maemun hanya bisa geleng-geleng kepala. "Enggak tiap hari saya bisa dapet segitu. Kalau masakan enggak habis, emangnya bisa ditukar sama uang."
Maemun, Rahmat, dan Fahrudin sepakat menentang putusan Pemprov DKI yang menyetujui penerapan pajak atas segala jenis usaha tata boga di Jakarta sebesar 10 persen tersebut. "Minta aja uang pajaknya sama Gayus buat talangin pajak warteg se-Jakarta," celetuk Fakhrudin.