REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi sangat mengapresiasi keputusan pemerintah membubarkan Pertamina Energy Trading Limited (Petral). Petral harus dibubarkan karena membuat mekanisme pengadaan impor minyak tidak efisien.
Kurtubi menceritakan, pembubaran Petral sebenarnya sudah digaungkan sejak pemerintahan era Soesilo Bambang Yudhoyono, khususnya saat Menteri BUMN dijabat Dahlan Iskan. Namun, hingga bergantinya pemerintahan, wacana pembubaran tersebut tidak juga terealisasi.
"Sekarang di bawah pemerintahan Jokowi, ada langkah maju. Saya rasa pembubaran Petral ini bisa menentukan langkah menuju perbaikan mekanisme impor BBM yang lebih efisien," kata Kurtubi, Ahad (15/7).
Selama ini, ujar Kurtubi, keberadaan Petral membuat mata rantai pengadaan impor BBM menjadi panjang. Bahkan, Petral yang sejatinya merupakan trader, disebut seringkali membeli BBM kepada sesama trader, tidak langsung kepada produsen. "Dan yang namanya trader pasti mengambil untung,"ujarnya.
Karena itu, pengadaan impor BBM akan lebih efisien dengan mengalihkan fungsi Petral kepada Integrated Supply Chain (ISC) yang merupakan unit usaha dari PT Pertamina (persero). Ini terbukti setelah Pertamina mengaku bisa melakukan penghematan sebesar 22 juta dolar AS (sekitar Rp 289 miliar) setelah mengambil alih fungsi Petral dalam dua bulan terakhir.
Namun, pembubaran Petral bukanlah langkah satu-satunya untuk memperbaiki tata kelola migas Indonesia. Masih banyak yang harus dilakukan pemerintah. Kurtubi berharap pemerintah dapat melakukan langkah-langkah maju lainnya dengan membangun kilang minyak. Pembangunan kilang penting untuk memperbaiki produktivitas minyak dalam negeri yang terus menurun.
Kalau kilang tidak dibangun, ujar Kurtubi, maka Indonesia akan terus bergantung terhadap BBM impor. "Padahal mafia migas bermainnya di area impor BBM," ucapnya.