REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan mekanisme pemberian manfaat salah satu program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, yaitu Jaminan Hari Tua (JHT), menimbulkan keresahan di masyarakat. Jika sebelumnya JHT bisa diambil setelah pekerja menjadi peserta selama lima tahun, maka pada aturan terbaru, JHT bisa diambil setelah sepuluh tahun.
Anggota Komisi IX DPR Roberth Rouw menilai langkah yang diambil pemerintah tersebut sangat tidak manusiawi. "Kebijakan itu terkesan dibuat secara mendadak dan tidak ada sosialisasi, saya mengecam itu, ini sangat tidak manusiawi," kata Roberth di gedung DPR Jakarta, Jumat (3/7).
Politikus Partai Gerindra itu menjelaskan, seharusnya pemerintah dapat melakukan sosialisasi secara gencar kepada masyarakat terlebih dahulu. Paling tidak, lanjutnya, hal tersebut dibahas dulu bersama Komisi IX DPR sebagai mitra kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan BPJS Ketenagakerjaan.
"Waktu kita RDP (rapat dengar pendapat) dengan BPJS Ketenagakerjaan beberapa waktu lalu hanya besaran iuran pensiun saja, dan tidak membahas perubahan tersebut," ujarnya.
Seperti diketahui, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mulai beroperasi penuh pada 1 Juli lalu. Bersamaan dengan itu, ada perubahan aturan soal pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT).
Dalam aturan yang lama, JHT bisa diambil penuh jika peserta sudah terdaftar selama lima tahun di BPJS Ketenagakerjaan. Namun, dalam aturan yang baru, syarat pencairan JHT adalah minimal sepuluh tahun terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.
Peserta bisa dapat dana JHT tanpa perlu keluar dari peserta BPJS Ketenagakerjaan, tapi jumlahnya hanya 10 persen dari total saldo atau bisa juga 30 persen untuk pembiayaan rumah. Jika peserta sudah berusia 56 tahun, maka mereka bisa mendapatkan keseluruhan JHT yang ditabung.