DPR Soroti Presentase Saldo JHT yang Bisa Diambil

Ahad , 05 Jul 2015, 00:44 WIB
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menjawab pertanyaan wartawan usai menggelar jumpa pers terkait iklan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (4/2). ( Republika/Agung Supriyanto)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menjawab pertanyaan wartawan usai menggelar jumpa pers terkait iklan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (4/2). ( Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf meminta agar pencairan uang Jaminan Hari Tua (JHT) untuk pekerja tetap dibayarkan selang lima tahun. Hal tersebut dilakukan sembari menunggu revisi aturan yang akan dirumuskan pada Senin (6/7) oleh DPR RI bersama Kementerian Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

"Untuk sementara, mereka yang sudah mendaftar sebelum tanggal 1 Juli lima tahun yang lalu, sebaiknya dibayarkan saja, karena mereka sudah menunggu lima tahun," kata dia dihubungi pada Sabtu (4/7).

Lagi pula, kata dia, para pekerja yang mendaftar tersebut belum mendapatkan sosialisasi. Jika BPJS tetap memberlakukan aturan baru, akan timbul kekecewaan masyarakat bahkan akan merugikan.

Menyoal rencana revisi, ia mengaku pada dua hari lalu telah menghubungi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Ia sampaikan, bahwa urusan JHT mesti dibedakan dengan Jaminan Pensiun pegawai negeri.

"Harus dibedakan, pensiun itu 56 tahun, tapi kalau hari tua itu ya harus memikirkan bagaimana pekerja menyiapkan modal usaha untuk hari tua," lanjutnya. Pekerja harus memiliki simpanan yang bisa digunakan untuk membuka warung, misalnya.

Aturan sepuluh tahun pembayaran JHT menurutnya sudah sesuai dengan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 37 Ayat 1-5. Maka yang perlu direvisi yakni prosentase saldo yang dapat diambil. "Jangan 10 persen, itu terlalu kecil," lanjutnya. Saldo seharusnya 30-40 persen agar cukup bagi pekerja menyiapkan modal usaha.

Jangan justru untuk pembiayaan perumahan yang lebih besar, yakni 30 persen. Modal usaha lebih dibutuhkan untuk menjamin pekerja tetap memiliki penghasilan ketika tidak lagi dapat bekerja di suatu perusahaan karena keterbatasan usia.

Poin revisi lainnya akan dibahas lebih detail namun belum bisa ia jelaskan karena pembahasan akan berlangsung lusa. Yang jelas, revisi harus mengundang kesejahteraan buat pekerja, bukannya merugikan. Di samping itu, sosialisasi atas kebijakan baru pun penting agar menimbulkan pemahaman dan mencegah resistensi.