REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi VII DPR meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk merevisi besaran asumsi dasar RAPBN 2016 untuk harga minyak mentah yang diasumsikan 60 dolar AS per barel. Hal ini dianggap sudah tidak relevan lagi manakala saat ini bahkan sebelum diputuskan, harga minyak dunia semakin anjlok.
Anggota Komisi VII DPR Kurtubi menilai, angka asumsi dasar untuk harga minyak dunia maksimal adalah 50 dolar AS per barel. Angka ini berdasarkan kondisi saat ini yang di luar perkiraan bahwa minyak dunia kembali melorot tajam. Kurtubi menilai, selama Organisasi Eksportir Minyak Dunia (OPEC) tidak menekan produksinya maka harga minyak dunia akan semakin merosot. Bahkan, bisa sampai menyentuh level 10 dolar AS.
"Saat ini terjadi perang harga minyak. Di satu sisi perang mata uang. Keduanya begitu dominan pada asumsi yang dibicarakan. Sayang, sejak dulu harga minyak dunia bukan hanya soal suplai demand. Tapi ada faktor geopolitik. 60 dolar AS jelas sangat tidak realistis. Saya usulkan maksimal ICP 50 dolar AS," jelas Kurtubi, Rabu (26/8).
Sementara itu, Menteri ESDM Sudirman Said mengungkapkan bahwa ia terus memantau pergerakan harga minyak dunia. Untuk saat ini, Sudirman melanjutkan, pihaknya belum bisa memberikan keterangan detail sebab gejolak harga minyak masih terjadi. Sudirman meminta waktu 10 hari ke depan untuk bisa mengamati pergerakan lebih lanjut.
"Sebagai informasi tambahan izin kan kami paparkan bahwa kita catat 43,75 dolar per barel harga ICP. Tentu hari ini di bawah itu. Dan saya terus memantau perkembangan untuk suatu ketika memilih asumsi," kata Sudirman.
DPR sendiri akhirnya memberikan waktu kepada pemerintah untuk merevisi asumsi harga minyak dunia. Sekedar informasi, sebelumnya telah ditetapkan asumsi harga minyak dunia senilai 60 sampai 70 dolar AS. Pada rapat kerja kali ini, Sudirman sempat menyebutkan bahwa pemerintah memutuskan menggunakan asumsi senilai 60 dolar AS.