REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum memberlakukan praktik hukum kebiri, pemerintah harusnya mempertimbangkan aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Dalam membuat sebuah peraturan, tiga hal tersebut minimal harus diperhitungkan agar pelaksanaannya tidak bertabrakan dengan aspek-aspek yang ada di masyarakat Indonesia.
“Kalau membuat peraturan jangan hanya sekadar nyontek negara lain harus ada landasannya. Kalau cocok ya tidak apa-apa. Nah kalau tidak, apa jaminannya ini bisa berjalan baik,” ucap Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay kepada Republika.co.id,” Kamis (22/10).
Amerika Serikat (AS) sudah menerapkan hukuman kebiri. Hanya saja kebiri yang dilakukan negeri Paman Sam tersebut tidak bertujuan menghilangkan libido seksual, melainkan hanya untuk menguranginya saja. Lagi pula sebelum hukuman itu dilakukan, pemerintah setempat menanyakan lebih dulu ke terdakwa apakah bersedia dihukum kebiri atau tidak.
Jika seseorang sudah diputus hasrat seksualnya, nanti setelah kembali ke masyarakat bukan berarti tidak mungkin terganggu psikologinya.
“Bisa jadi orang tersebut malah melakukan tindakan lain yang lebih keji seperti mengurung atau menyiksa fisik si anak,” kata dia.
Saleh yakin pelaku kekerasan seksual pada anak adalah orang-orang ‘sakit’, yang terganggu psikologisnya. Menurut dia, ada alternatif lain yang lebih tepat daripada kebiri yakni memberikan bimbingan konseling khusus pada pelaku kekerasan seksual anak.
“Karena dari sisi psikis, penyakit ini bisa disembuhkan lewat terapi,” ujarnya. Apabila perpu kebiri keluar, Saleh menilai pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap anak hanya mengedepankan aspek responsif dan bukan komprehensif.