REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyusul kapal ikan Cina yang menyusup wilayah perairan Indonesia dekat kepulauan Natuna, sebenarnya sudah menjadi bom waktu sejak lama.
Sikap protes pemerintah Indonesia diapresiasi. Tapi harus diwaspadai, kemungkinan kejadian serupa akan terulang. Perairan Natuna yang kaya dengan sumber daya alam (SDA) selalu menjadi incaran banyak negara yang berbatasan.
Klaim sepihak lewat kapal ikan asing yang menyusup menjadi ancaman serius atas kedaulatan NKRI. Anggota F-Gerindra DPR RI Heri Gunawan memandang serius persoalan ini. Katanya, kapal coast guard Cina yang menghalang-halangi kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di wilayah NKRI merupakan bentuk pelecehan kedaulatan.
Apalagi, klaim Cina tentang traditional fishing zone sebenarnya tidak dikenal dalam The United Nations Convetion on The Law of The Sea (UNCLOS). Traditional fishing right harus atas kesepakatan bersama. Selama ini tidak ada kesepakatan dengan Cina.
"Saya mengapresiasi sikap KKP dan Kemenlu yang telah melakukan protes. Namun, ke depan sikap Cina itu sangat bisa jadi akan terulang bila pemerintah Indonesia tidak mengambil sikap tegas dan tuntas," katanya saat dihubungi belum lama ini.
Konflik di perairan Natuna, sambung Anggota Komisi XI ini, bukan sekadar illegal fishing, tapi merupakan pencaplokan sistematis untuk tujuan-tujuan jangka panjang.
"Sengketa Natuna nampaknya merupakan bom waktu. Konflik Natuna adalah soal perebutan sumber daya alam. Selain minyak bumi, wilayah itu menyimpan cadangan gas alam terbesar di dunia. Banyak ahli mengklaim Natuna adalah surga energi terbesar di dunia yang bernilai ekonomi tinggi."
Apa yang dilakukan Cina di Natuna, tidak saja melecehkan kedaulatan RI, tapi juga bisa merupakan bagian dari upaya sistematis Cina untuk mencaplok Natuna karena motif penguasaan SDA.
"Rasanya Cina akan terus ngotot mencaplok Natuna, karena mereka tahu akan untung besar dari pendapatan gas. Sedang kita buntung," tandas Heri lebih lanjut.
Heri mengungkapkan, di Blok Natuna D-Alpha, misalnya, tersimpan cadangan gas dengan volume 222 triliun kaki kubik (TCF). Cadangan itu tidak akan habis hingga 30 tahun.
Sementara potensi gas yang recoverable di Kepulauan Natuna sebesar 46 TCF atau setara 8.383 miliar barel minyak. Bila digabung dengan dengan minyak bumi, terdapat seitar 500 juta barel cadangan energi hanya di blok tersebut.
"Jika diuangkan, kekayaan gas Natuna mencapai Rp6.000 triliun. Nilai itu sama dengan tiga kali lipat APBN saat ini," ujarnya.
Ditambahkan politisi muda dari dapil Jabar IV ini, perusahaan-perusahaan minyak asing pernah bercokol di Natuna dan meraup untung besar. Sebut saja, Petronas (Malaysia), ExxonMobil (AS), Chevron (AS), Shell (Inggris-Belanda), StatOil (Norwegia), Eni (Italia), Total Indonesie (Prancis), dan China National Petroleum Corporation (Cina).