DPR Kritik Diskriminasi Tunanetra Saat UN

Kamis , 07 Apr 2016, 17:37 WIB
Sejumlah siswa penyandang disabilitas mengikuti Ujian Nasional pelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Luar Biasa Negeri kelas A, Kota Bandung, Rabu (6/4).
Foto: Dede Lukman Hakim
Sejumlah siswa penyandang disabilitas mengikuti Ujian Nasional pelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Luar Biasa Negeri kelas A, Kota Bandung, Rabu (6/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Ketua Komisi XIII DPR, Saleh Daulay menyayangkan terdapat perlakukan diskriminasi terhadap penyandang tunanetra selama pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Sebab, baru dua pecan lalu Undang-Undang (UU) penyandang disabilitas disahkan oleh pemerintah.

“Terkait perlakuan diskriminatif seperti itu sudah ada di dalam UU tersebut, sudah semestinya pemerintah mengetahui hal itu,” ujar Daulay kepada wartawan, Kamis (7/4).

Kalau pemerintah masih diskriminatif, dia melanjutkan, berarti terdapat pelanggaran pada UU.  Hal ini bisa serius jika pemerintah menyepelekan masalah ini. Dia juga mengutarakan pandangannya jika mahalnya soal ujian braille menjadi salah satu hambatan. Kondisi-kondisi ini, tambah dia, sebenarnya bisa diperdebatkan. Sebab, anggaran UN yang begitu mahal sudah selalu menjadi bahan pembicaraan selama ini.

“Lalu mengapa anggaran besar seperti itu tidak dialokasikan untuk penyandang disabilitas? Lagipula UN sekarang adalah UN berbasis komputer,” terang Daulay.

Jika soal UN braille dinilai mahal, dia melanjutkan, penyandang disabilitas bisa diikutkan dengan memakai komputer. Menurut Daulay, terdapat banyak program komputer yang bisa membantu mereka terutama tunanetra. Upaya ini hanya perlu niat baik atau tidak saja dari pemerintah.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkap terdapat diskriminasi terhadap peserta tuna netra selama pelaksanaan Ujian Nasional (UN) berlangsung. Hal ini berdasarkan laporan yang diterima posko FSGI di Tasikmalaya, Kupang, Kerawang, Medan, Mataram, Karanganyar, Sidoardjo, Makassar dan Jakarta.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) FSGI, Retno Listyarti menerangkan, para penyandang tuna netra mengalami kesulitan saat mengerjakan soal UN Kertas Pensil (UNKP). “Tidak ada ketersediaan soal UN braile bagi penyandang tuna netra,” kata Retno dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Rabu (6/4).

Retno mengetahui benar bahwa soal UN braile memang mahal harganya, yakni diperkirakan Rp 500 ribu/soal. Namun seharusnya tingginya harga tersebut tidak menjadi halangan bagi pemerintah. Menurut Retno, selama ini penyadang tuna netra harus  dibacakan soalnya oleh pengawas. Akan tetapi peserta tetap merasa kesulitan karena soal-soal yang disertai gambar, simbol, dan grafik. Soal-soal demikian jelas tidak bisa dijelaskan si pengawas sehingga peserta tuna netra dipaksa berimajinasi.

“Dan hal ini jelas bentuk diskriminasi pemerintah terhadap penyandang disabilitas,” kata Retno.